Kamis, 07 Mei 2009

cepen: BADAI TENGAH MALAM



Langit berwarna hitam, rembulan dan bintang-bintang disembunyikan di balik awan gelap yang bersip menyerang bumi dengan rintik hujnya. Kegelisahan menghampiriku, seorang pedagang buah yang menanti isterinya yang belum pulang bekerja di sebuah pabrik di kawasan Serang Timur. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun isteriku, Maya belum juga pulang.

“Kang, hari ini aku mau lembur.” kata Maya sebelum ia berangkat bekerja pukul setengah lima pagi.

“Jam berapa kamu pulang?” tanyaku

“Paling jam dua belas malam, Kang. Ya sudah, aku berangkat dulu ya, Kang. Assalamu 'Alaikum”.

Maya berlari ke depan rumah tanpa mencium tanganku seperti yang dilakukan isteri orang lain kepada suaminya. Sering muncul dalam benakku prasangka buruk tentang sikap Maya padaku.

“Apakah Maya sudah tidak mencintaiku lagi?” begitulah gerutu yang sering muncul di benakku.

Maklumlah, setelah berhenti dari perusahan lamaku karena separuh lenganku terpotong mesin pemotong kertas aku tak lagi diterima bekerja di perusahaan manapun karena cacat. Mayalah yang menggantikanku mencari nafkah. Ia diterima di perusahaan produsen sepatu sebagai sekretaris salah satu divisi perusahaan tersebut.

Lonceng jam berdentang dua belas kali, membuyarkan nostalgiaku. Namun, Maya belum juga menginjakkan kaki di rumah. Aku pun bosan menunggu, ku putuskan untuk menutup pintu dan menguncinya karena mataku mulai lelah. Kalaupun Maya pulang ia akan mengetuk pintu keras-keras seperti malam-malam sebelumnya.

Namun, ketika aku berdiri di gawang pintu, ku lihat Maya turun dari sebuah sedan mewah, dipapah oleh seorang yang usianya tak jauh beda denganku, hanya saja ia berparas oriental, pikirku ia adalah bos Maya.

Ku hampiri isteriku yang tengah dipapah oleh pria oriental tersebut. Aku mengendus bau alkohol daro mulut Maya dan pria oriental itu.

“May, kau mabuk?” tanyaku bernada agak tinggi.

Maya tak menjawab, namun pria oroental tersbut yang menjawabnya, “Betul. Maya mabuk. Dia terlalu banyak minum tadi di ruanganku”.

“Memangnya apa yang kalian lakukak di ruangan anda? Lalu, siapa anda ini?”

“Pesta. Aku Mr. Ronald. Maya adalah sekretarisku.”

“Pesta?”

“Ya. Setiap malam kami berpesta berdua. Kami lakukan apapun yang kami mau di pesta empat mata kamu. Bahkan pesta suami isteri kami lakukan di lantai.”

Hatiku bagai tersambar halilintar mendengar penjelasan dari Mr. Ronald. Jantungku berdebar kencang tak terendali. Ku tarik Maya dari lelaki itu dan aku bertanya pada isteriku, “Maya, kau selungkuh dengan bosmu?!”

“Kalau ya memang kenapa.” jawab Maya.

Ku layangkan telapak tanganku ke pipinya berulang kali. Maya hanya tertawa dan mengeratlkan pelukannya kepada Mr. Ronald. Hatiku bertambah sakit hingga ku pisahkan mereka berdua dan ku pukuli Mr. Ronald secara membabi buta hingga terjatuh ke tanah becek yang terserang hujan, lalu ku injak-injak perut dan kepalanya. Darah segar mengucur dari kepalanya.

Maya berusaha menghentikanku, namun aku tak menghiraukan nya. Aku malah memukulnya sekuat tenaga yang terdorong oleh kecemburuan mendalam hingga ia tersungkur.

Ku tinggalkan Maya dan selingkuhannya yang dalam keadaan lemah ke dalam rumah. Ku bawa Ikhsan dan Mukhsin, remaja kembar berusia tujuh belas tahun, buah dari perkawinanku dengan Maya yang ku panggil ketika tetidur lelap di kamarnya.

“Lihat ibumu! Ayah menghajarnya karena dia selingkuh dengan bosnya. Setiap malam berpesta cinta di ruangan orang asing itu.” kataku pada Ikhsan dan Mukhsin.

“Apa?!” sahut Mukhsin yang kaget.

“Bunuh saja orang asing itu, Yah!” sambut Ikhsan

Mendengar ucapan Ikhsan aku mulai gelap mata. Ku ambil golok dari dalam rumah dan ku tarik nyawa Mr. Ronald dengan golok itu.

“Arrkhhh” rintih Mr. Ronal ketika ku tarik nyawanya.

Ikhsan dan Mukhsin hanya terperangan melihat aksi brutalku. Mereka seolah tak percaya melihat ayahnya yang dikenal lembut bisa menghabisi nyawa orang lain.

Selanjutnya, aku langsung menceraikan Maya yang kemudian terganggu jiwanya. Ia selalu mengatakan, “Mr. Ronald, I love you” tiada hentinya.

Namun, aku harus merasakan dinginnya ruang penjara selama lima belas tahun lamanya. Meninggalkan Ikhsan dan Mukhsin yang ku titipkan di rumah adikku, Permana dan isterinya.