Selasa, 08 Desember 2009

DUNIA YANG HILANG


Langit hitam tak sekelam biasanya. Angin terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Bintang semakin sinis menatapku. Aku semakin asaing di hadapan mereka. ini bukan duniaku. duniaku telah kubuang dengan keji beberapa tahun lalu, karena aku tak puas akan kodratku.

Banyak elemen masa berkoar bahwa orang sepertiku harus dilindugi, aku pun pernah mengatakannya pada kedua orang tuaaku saat aku lelah diceramahi oleh mereka. Masih jelas di telingaku yang merekaa ucapkan saat itu.

"Kalau kau manusia, kenapa kau tak menerima kodratmu sebagai manusia. dan kau diciptakan menjadi laki-laki. Kodratmu sebagai manusia adalah laki-laki. Kau sudah ingkar terhadap nikmat yang Allah berikan!", tegas Bapak.

"Kembalilah kepada kodratmu nak! ini bukan duniamu.", lanjut Ibu diiringi isak tangis. mungkin ia menyesal telah melahirkanku.

Aku tak mengindahkan perkataan yang mereka lontarkan. Aku tetap melangkah hendak meninggalkan rumah. Saat aku sampai di gawang pintu, Bapak berkata deengan penuh amarah, "Kalau kau keluar selangkah saja dari rumah ini dengan mengingkari kodratmu, jangan pernah kembali ke rumah ini sampai kau kembali menjadi dirimu seperti yang telah Allah amanahkan padamu sebagai seorang laki-laki."

"Baik. Aku tidak akan kembali ke rumah ini. Untuk apa aku satu atap dengan orang tua yang tidak memahami hak asasi manusia.", jawabku sinis.

Aku pun pergi meniggalkan rumah, melangkahkan kaku tak tentu arah. Aku tak ingat lagi tujuanku pergi dari rumah. Banyak pemuda yang mentertawakanku saat aku melintas di hadapan mereka. Bahkan, tak sedikit yang mengatakan "cewek jadi-jadian". Aku berpikir mengapa mereka tak menghargai pilihan hidupku? Aku juga manusia. Aku punya hak untuk memilih jalan hidupku.

***

Telah dua tahun aku hidup jauh dari orang tuaku. Aku tinggal di salon milik kawanku sesama waria yang berlokasi deekat deengan sebuah kompleks industri. Terkadang aku pun menjajakan cinta kepada sopir-sopir gila yang haus cinta dan tak memandang gender.

Namun, malam ini sunyi. Hanya kebencian alam yang aku rasakan. Mereka seperti mengisyaratkan kotoran yang bersemayam dalam diriku. Tak terasa air mata melintas di sela-sela pipiku. Aku merasa ada yang hilang daari hidupku. Sesuatu yang berharga.

Aku pergi meninggalkan pangkalan citaku, kemudian kembali ke salon menemui sahabatku Lussi, yang pada saat di kampung namanya adalah Tusi. Aku menceritakan kegalauan hatiku padanya dengan air mata yang terus mengalir. Seolah tak mau berhenti sebelum aku mendapatkan sesuatu yang hilang dari hidupku.

"Lus, aku merasa sakit akan hal ini. Aku merasa sesuatu yang berharga hilang dariku. Kenapa aku ini?"

"Sepertinya kau telah merasakan bahwa duniamu, dunia kita di masa lalu adalah sesuatu yang harus dicari dan diambil kembali."

"Apa itu?"

"Kau tahu jawabannya."

Lusi pergi meninggalkanku tanpa memperdulikan kegalauan hatiku. Aku merebahkan tubuh di atas tempat cream bath. Kutatap langit-langit yang putih polos seperti kain kafan. Air mata berhenti seketika saat aku memikirkan kain kafan, diganti dengan keringat dingin tang tak tentu arah alirannya. Aku merasa takut sekali.

"Kain kafan. Sebagai apa nanti aku kelak jika harus dibalut kain tersebut? Laki-laki atau perempuan?"

Aku merasa sebuah palu besar memukul kepalku, sakit sekali. Aliran darah bagai ombak di pantai, begitu deras dan berbenturan dengan tulang belulang, hingga menimbulkan lemas pada tubuhku.

Kuaalihkan pandanganku pada sebuah poster Britney Spears yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Aku Merasa sesuatu menggeliat dan mengganggu stabilitas jiwaku. Tak biasanya aku seperti ini. Walaupun aku pernah merasakannya, itupun saat aku masih berusia enam belas tahun, dan kini usiaku adalah dua puluh lima. Ya, sembilan tahun lalu.

***

"Aaaaaarrrgh!", aku berteriak sekuat tenaga hingga seluruh penghuni salon berdatangan menghampiriku.

"Ada apa?", tanya Lusi.

"Sesuatu menggeliat di tubuhku."

Semua terdiam. Keringat dingin terlihat membasahi tubuh mereka. Bahkan, Dion alias Dian jatuh tak sadarkan diri. Namun, mereka tak mempedulikannya. Mereka tetap terfokus ke arahku.

"Kau merasa tenang setelah itu terjadi?", tanya Lusi.

"Ya, tapi aku merasa tegang sekal.", jawabku.

"Kau telah menemukan jawabannya.", ujar Lusi.

"Apa mungkin aku harus kembali menjadi laki-laki?"

"Ya. Itulah duniamu, dunia kita semua yang hilang."

Lusi dan yang lainnya bertolak ke kamarnya masing-masing tanpa ada yang mengomandoi. Tinggal aku dan Dian yang masih berada di ruang praktik salon. Itupun tak bertahan lama. Aku pergi meninggalkan salon dan akan kembali ke rumah. Melatih diri unruk menemukan duniaku yang hilang.

***

"Mau apa kau kemari?", Tanya Bapak menyala-nyala.

"Aku ingin kembali kepada kodratku, Pak."

"Percuma. Ibumu telah menghadap sang pencipta kau baru kembali. Kau telah mempermalukan ibumu di hadapan-Nya."

"Apa? Ibu..."

"Ya. Puas kau sekarang? Asal kau tahu ibumu mati karena memikirkan kelakuanmu."

"Aku berjanji akan kembali kepada kodratku agar Ibu dan Bapak tidak malu di hadapan tuha."

Bapak tak menjawab. Ia memunggungiku. Mugkin tak sudi melihat aku yang masih memakai pakaian wanita dengan make up melumuri wajahku.

_SELESAI_

Sabtu, 28 November 2009

CARA MEMBUAT TULISAN BERJALAN PADA NAVBAR

1. sign in di blog.
2. klik elemen halaman.
3. pilih edit html.
4. download template lengkap,supaya nanti klo hasil editannya gagal kita masih punya backupan yang bisa kita gunaen buat ngembaliin blog sperti semula.
5. copy paste code di bawah ini,trus cari kode kyak gni
code :



6. taruh code diatas tepat diatas code 7. terakhir simpan template trus lihat hasilnya.

catatan : 1. Ganti tulisan yang berwarna merah dengan kata2 yang anda inginkan.
2. atur kecepatan sesuai yang anda inginkan.

Sabtu, 14 November 2009

cerpen: TANGAN LEMAH

Terik matahari terasa membakar seluruh tubuhku. Mataku selungukan di depan sebuak WARNET pinggir jalan. Sesekali aku mencermati satu per satu sandal dan sepatu di depan pintu WARNET tersebut. Aku memilih tumpukan alas kaki tersebut seolah hendak membelinya.
“Sepi!,” Seruku dalam hati.
Dengan gerak cepar aku mengambil beberapa pasang dari alas kaki yang kuincar tersebut. Ya, aku mencurinya dan hasil curian itu akan kujual ke tukang loak yang biasa menerima barang hasil curianku. Entah karena aksian ataukah karena Si Tukang Loak itu butuh pada sandal dan sepatu yang kujual padanya, ia selalu menerima barang yang kujual meski di lapaknya masih menumpuk begitu banyak sandal dan sepatu dariku. Yang pasti, aku sangat berterima kasih padanya. Karena berkat dia, aku tetap bisa memberi makan kedua adikku setiap hari.
“Mang, ni ada barang lagi. Mau beli tidak?” Tawarku pada Mang Itong, tukang loang menerina hasil curianku.
“Ada berapa?”
“Empat pasang.”
Mang itong memeriksa Sandal dan sepatu dariku dengan seksama, kemudian berkata,”Sepuluh ribu ya?”
“Yah, tambah lagi lah!” Pintaku memelas.
“Ya sudah lima belas ribu.”
“Baiklah. Terima kasih ya, Mang!”
Aku pergi meninggalkan lapak Mang Itong, kemudian pergi ke pasar untuk membeli tempe dan seliter beras. Kugenggam erat uang dari Mang Itong. Hatiku pili bila mengingat uang itu hasil curian. Aku tak sampai hati memberi makan adik-adikku dengan cara yang tak halal. Namun, apalah daya. Aku hanya seorang pemuda yatim-piyatu yang menanggung beban beran di punggungnya dari adik-aduknya yang masih kecil-kecil, namun tak ada keahlian mencari uang. Maka, kujalani hidup sebagai pencuri kelas kacang tanah.
***
Aku tersenyum bercampur haru melihat adik-adikku makan dengan lahap. Aku tak habis piker betapa kelaparannya mereka sehingga piring yang telah kosong dari nasi dan lauk masih juga mereka jilati.
“Min, sudahlah, jangan kamu jilati juga piring yang sudah kosng itu!” Kataku pada Amin adik pertamaku.
“Kenapa, Kang?” Tanya Amin.
“Kamu jangan mengajari adikmu bertingkah seperti kucing denganmenjilati piring sisa makanan itu! Lihatlah Ari! Dia mengikuti tingkahmu.”
“Tapi aku masih lapar, Kang.”
“Kakang tahu. Tapi, hanya itu yang bias kakang berikan pada kalian. Kakang tidak bisa memberi lebih dari ini. Inilah kemampuan kakang.”
Kulihat Amin meringis. Hatiku bertambah pilu. Sejak pagi Amin dan Ari tak menyentuh nasi dan baru makan di malam hari. Itupun tak sampai membuat mereka kenyang. Tak terasa air mata mengalir dari pelupuk mataku yang lemah.
“Sudahlah, jangan meringis seperti itu!”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau kamu bersikap seperti itu, seolah-olah kamu tidak bersyukur akan nikmat yang Allah berikan malam ini. Kamu lihat Ari! Dia masih bisa bersyukur dengan memejamkan matanya dan membawa dirinya ke dalam mimpi.”
“Ya sudah, aku tidur.”
Amin beranjak tidur. Akupun merasakan kantuk menerpa diriku hingga aku tak sempat mengikuti malam hingga usai.
***
Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sudah bertengger di depan WARNET depan Jalan Raya Serang, tempatku biasa beroperasi. Celingak-selinguk lalu mematuk. Beberapa sepatu kurangkul, namun naas, aku kena pukul. Salah seorang pengunjung WARNET kebetulan keluar dan mendapati aku hendak mencuru sepatunya.
Aksi pemukulan salah seorang pengunjung WARNET itu memancing pengunjung lain keluar dan ikut memukuliku. Hantaman bogem mentah mendarat di wajahku, tendangan menyakitkan disematkan di dada dan perutku. Aku tak bisa mengelak.
“Ampun! Ampun!” Rengekku.
Setelah aku lemah dan merengek kesakitan, barulah mereka menghentikan pemukulannya. Aku yang terbaring lemah mereka dudukkan, kemudian diberi segelas air putih. Lebih dari lima pasang mata menatapku tajam, tak terkecuali pemilik WARNET yang takut omzetnya menurutn jika selalu terjadi pencurian alas kaki di WARNET-nya.
“Kenapa kamu selalu mencuri sandal di WARNET-ku?” Tanya pemilik WARNET padaku.
“Aku terpaksa.”
“Kenapa?”
“Aku butuh uang untuk makan adik-adikku. Kami yatim piyatu.”
“Lalu kenapa kau lakukan hal sehina ini? Tegakah kau memebri makan adik-adikmu dengancara yang yak halal?”
“Sebenarnya perih rasanya”
“Lalu kenapa kau lakukan juga?”
Aku diam, seorang dari mereka menamparku, yang lain menggeretaknya agar tak mengulangi.
“Bawa ke polisi saja!” Seru orang yang menamparku.
“Ampun! Janganbawa aku ke polisi!” Rengekku.
“Kau tidak akan kami bawa ke polisi. Kasihan adik-adikmu jika kau kami bawa ke bui.” Jawab pemilik WARNET.
Aku tersenyum dan berterima kasih pada mereka yang telah mengampuniku. Namun dengan syarat bahwa aku tak boleh lagi mencuri di WARNET tersebut.
***
Aku memutuskan untuk berjualan Koran. Bergulat dengan matahari, aku menjajakan Koran di lampu merah. Peluh tak henti-hentinya mengucur dari pori-poriku. Dalam hati aku bertekad, “Korannya harus habis!”
Ya, korannya habis jam tiga sore. Aku pulang dengan senyum sumringa ke rumah. Namun, senyum tersebut seketika hilang setelah melihat Ari kejang-kejang. Sesuatu terjadi pada Ari.
“Kenapa Ari, Min?”
“Tidak tahu. Badannya panas sekali.”
“Sudah kamu kompres?”
“Sduah tapi panasnya tak mau turun.”
“Kita bawa ke rumah sakit!”
“Tapi, Kang…”
“Sudahlah! Kakang tidak mau terlambat.”
Tanpa berpikir panjang aku beserta Amin membawa Ari ke rumah sakit. Ari langsung dibawa ke UGD. Namun, pihak rumah sakit tak mau memberikan perawatan inap pada Ari karena aku tak mampu membayar. Kartu JAMKESMAS hanya bisa meringankan biaya, bukan menggratiskan biaya.
Alasan itu berulang kali diucapkan dari mulut pihak administrasi dan dokter rumah sakit milik pemerintah tersebut.
“Toling, Dok! Kashan adik saya.” Pintaku.
“Kami belum bisa melakukan perawatan kalau anda belum melunasi administrasinya.” Jawab doketer.
“Rumah sakit macam apa ini? Bukankah jika mempunyai kartu JAMKESMAS akan mendapatkan perawatan gratis?”
“Tidak, Pak. Kartu tersebut hanya untuk meringankan biaya.”
“Tega kalian!”
Kudorong dokter hingga terjatuh, kemudian aku berkata, “Harusnya kau berseragam hitam saja, bukan putih!”
Aku berlari meninggalkan rumah sakit, pulang ke rumah, kemudian pergi menuju toko emas di pasar. Bermodalkan golok yang kuambil dari rumah aku menodong pemilik toko emas tersebut agar menyerahkan uangnya kepadaku.
“Serahkan seluruh uangmu!” Geretakku.
“Baik-baik.” Jawab penilik toko emas dengan ketakutan yang kemudian menyerahkan sejumlah uang bernilai lebih dari satu juta kepadaku. Uang tersebut langsung kubungkus dengan sarung dan pergi sambil terus mengacungkan golok agar tak disergap warga di pasar.
Aku berlari menuju rumah sakit. Lebih dari sepuluh orang di pasar mengejarku. Aku terus berlari, berlari dan berlari. Beberapa kali aku hamper tertangkap oleh mereka, tapi aku gesit meloloskan diri. Hingga akhirnya aku sampai di rumah sakit, namun mereka masih mengejarku.
Lorong-lorong di rumah sakit jadi lintasan pelarianku. Aku berlari menuju tempat administrasi. Setelah sampai, aku langsung menyerahkan uang yang harus dibayar kepada rumah sakit.
“Maaf, Pak! Adik anda tidak tertolong. Kamu juga mendapati adik anda yang lain tergantung di lorong samping kamar jenazah.”
Mendengar keterangan dari pihak anmidistrasi aku jadi geram. Aku tak habis pikir, rumah sakit milik pemerintah bisa sekejam ini pada rakyatnya jika dipegang oleh dokter yang tak berhati. Kuobrak-abrik tempat adminirtrasi hingga bagai puing-puing pesawat yang meledak. Namun, beberapa saat kemudian, orang-orang dari pasar menemukanku dengan ditemani SATPAM rumah sakit yang kemudian menghajarku hingga babak belur. SATPAM rumah sakit berusaha menghentikan mereka, namun tak berhasil. Mereja baru berhenti setelah aku berbentuk seperti adonan roti yang diberi pewarna merah.
***
Setelah mendapat siksaan berat, aku dijebloskan ke bui. Aku terkurung dalam rangkar beri, berselimut duka atas kematian kedua adikku yang mengenaskan. Namun, di tempat ini aku tak pernah kehilangan nasi.

-SELESAI-

Rabu, 11 November 2009

cerpen: TANPA CAHAYA

Semilir angin bersenandung indah, sejukkan seluruh makhluk-Nya. Burung-burung bersenandung dengan riang, bersahutan satu dengan lainnya. Wangi bungan bercampur embun menyeruak merasuiki lembah penciumanku. Namun, tak dapat kulihat senym mentari. Hanya kegelapan yang dapat kutangkap.

Kuseruput teh hangat dengan hati-hati. Manis teh yang mendarat di karpet rasaku berbanding terbalik dengan kenyataan yang aku alami. Kenyataan pahit yang harus aku telan karena ulahku sendiri.
***
Setahun lalu, aku sempat menjadi orang paling ditakuti di sekolah. Hapir semua murid tak bernyali bila berhadapan denganku. Laki-laki maupun perempuan, tak luput dari tangan jahilku. Hamper semua siswi pernah menjadi korban kejahilanku. Siswanya pun habis kupukuli dan kupalak. Hanya satu yang tak pernah menampakkan ketakutan bila berhadapan denganku. Ali namanya, seorang siswa penerima beasiswa. Ia tyak pornah takut bila berhadapan denganku, malah ia tersenyum. Hal itu membuatku makin geram padanya dan penasaran ingin melihat kemarahannya.

Sabtu sore, Ali diberi mandate oleh Kepala Sekolah untuk mengecat tiang bendera yang warnanya telah pudar dihantam zaman. Ia pun mentaatati perintah Kepala Sekolah, meski harus mengerjakannya seorang diri. Melihat situasi ini, pikiranku berinisiatif untuk menemaninya sekaligus menciptakan rasa takut padanya bila ia berhadapan denganku lagi.

Aku masuk ke ruangan Kepala Sekolah dan menawarkan diri membantu Ali mengecat tiang bendera.

“Pak, boleh saya membantu Ali mengecat tiang bendera?”, taearku.

“Yang benar kamu?”, Tanya Kepala Sokolah.

“Benar, Pak.”
“Saya tidak menyangka. Murid seperti kamu mau melakukan pekerjaan ini.”

“Setiap orang ka nada sisi baiknya, Pak. Jadi boleh tidak aku membantunya?”

“Boleh, boleh.”

“Terima kasih, Pak.”

Aku mencium tangan Kepala Sekolah untuk menambah keyakinannya, kemudian pergi dengan langkah girang, disusul Kepala Sekolah yang akan bertolak pulang. Kuhampiri Ali yang sedang mebuka kaleng tinner untuk dicampurkan dengan cat. Aku melangkah perlahan, kukeluarkan pisau lipat dari saku celanaku untuk menggertak Ali agar timbul rasa takutnya padaku.

“Lagi apa, Li?”, tanyaku tiba-tiba.

“Eh. Kamu, Jod. Ada apa?” sahutnya.

Aku tak menjawab. Aku semakin mendekat padanya dan, “Sekarang masih tidak takut kau denganku?”, tanyaku seraya menodongkan pisau ke lehernya.

Tak disangka, perbuatanku mengejutkan Ali dan menumpahkan tinner di tangannya ke wajahku dan otomatis mengenai mataku. Seketika itu aku merintih dan merung-raung kesakitan. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.

“Aarrgh! Sakit!”, rintihku.

Dengan samara kulihat Ali panik. Ia pergi ke toilet, namun tak ada air karena sejak pagi listrik. Ia berlari meninggalkanku. Aku merintih sendiri di lapangan upacara.

Hampir dua pulih menit aku ditinggal sendirian oleh Ali, kemudian ia dating dengan membawa seember air. Semakin samara aku melihatnya. Ali menyiramkan air dalam ember terse but ke wajahku dan mengucek-ucek mataku, tapi hasilnya nihil.

Ali membopong dan menaikanku ke dalam taksi. Kudengar suara Ali berseru pada sopir taksi tersebut, “Pak, ke rumah sakit” dan seruannya langsung dipatuhi oleh sopir taksi tersebut.

Taksi melaju dengan cepat. Aku semakin tak kuat menahan rasa sakit dan tak lagi sadarkan diri.
***
Setelah sadar, hanya kegelapan yang tertangkap oleh mataku.

“Dimana ini?” tanyaku pelan, tak tertuju pada diriku sendiri.

“Kamu ada di rumah sakit, Nak.”, terdengar suara ibu menjawab pertanyaanku.

“Tapi, kenapa gelap sekali?”

“Dokter bilang kamu mengalami kebutaan karena terlalu lama tinner berada di matamu.”

“Apa? Tidak mungkin!”

“Ini benar, Nak.”

Aku berteriak histeris, tak dapat menerima kenyataan ini. Kuremas-remas rambutku, kupukul-pukul dadaku. Aku menangis sejadi-jadinya.

“Lalu dimana Ayah?”

“Beliau sedang di ruangan dokter.”
Tak lama kemudian terdengar suara pitu dibuka. Terdengar suara Ayah bertanya padaku dari gawang pintu, “Jodi, kamu sudah siuman?”

“Ayah?”, sakutku.

“Ya. Syukurlah kamu sudah sadar.”

“Kenapa harus bersyukur, bukankah hanya ragaku yang sadar?”

“Maksudmu?”, Tanya Ibu.

“Mataku tak ikut merasakan kehidupan. Kenapa tidak ia bunuh saja aku?”

“Maksudmu Ali?”, Tanya Ayah.

“Siapa lagi. Hanya aku dan dia yang ada disana.”

“Jangan berkata demikian! Ali tak bersalah. Ia hanya kaget saat kamu menodongkan pisau ke lehernya. Kamu mau membunuhnya? Lagipula kamu masih bias sembuh bila ada yang mendonorkan matanya padamu.”

“Tidak. Aku hanya ingin dia takut padaku.”
***
Kutempelkan kedua bibirku pada cangkir teh yang ada ditanganku, tapi cangkir tersebut tak berisi teh lagi. Kubanting cangkir tersebut hingga Ibu masuk ke kamarku.

“Ada apa, Jod?”, tanyanya.

“Ako bosan dengan kegelapan ini.”

“Kamu tidak akan merasakan kegelapan lagi, karena lusa kamu akan operasi.”
“Yang benar?”

“Untuk apa Ibu berbohong padamu”

“Aku tersenyum gembira. Lama aku tak tersenyum setelah aku kehilangan penglihatan.”
***
Saat yang dinanti telah tiba. aku memasuki ruang operasi pukul empat sore, setelah paginya aku tiba di rumah sakit untuk diperiksa kesehatannya dan beristirahat. Terasa jarum suntik menembus pori-pori kulitku dan akupun meningalkan alam sadarku.

Sebulan kemudian, hari pertama aku membuka perban di mataku, pertama kali pula aku dapat kembali melihat indahnya dunia. Setelah seluruh perban dibuka, terlihat cahaya begitu terang mengyhampiri mataku, men unjukkan dunia yang begitu indah.

Di hadapanku ada dokter, Ayah serta I bu. Kulihat mereka tersenyum bahagia melihat kesembuyhanku.

“Siapa malaikat yang telah mendonorkan matanya padaku?’ tanyaku.

“Kamu baca surat ini agar kamu tahu siapa malaikat penolongmu!” jawab Ibu seraya menyerahkan sepucuk surat padaku.

Kubaca surat itu. Demikian isi surat yang kubaca:

Untuk Jodi, sahabatku.

Saat kau baca surat ini, mungkin aku telah tak ada lagi di dunia.

Aku telah berdosa menghilangkan cahaya dari matamu. Sungguh aku ingin menebus kesalahanku. Aku mendatangi kedua orang tuamu untuk menjebloskanku ke penjara karena telah menyakitimu, namun mereka tak menghiraukannya karena menurut mereka, aku tidak bersalah ketika aku menjelaskan kejadian yang saat itu menyebabkanmu menderita. Meski orang tuamu mengangap aku tak bersalah, aku tetap[ dihantui dosa. Aku minta agar Kepala Sekolah mencabut beasiswaku dan mengeluarkanku dari sekolah, namun beliau pun tak menghiraukannya.

Aku tak pernah bias menghilangkan rasa bersalah ini. Maka, kuputuskan untuk memberikan kornea mataku padamu setelah ragaku terbujur kaku. Ya, kanker otak telah menghabisi hidupku.

Jodi, maafkan kesalahanku.

Tertanda

Alimudin

***
Air mata berlinang menlintasi pipiku. Aku menyadari ternyata Ali tak pernah menaruh benci padaku, tapi aku menyimpan begitu besar kebencian terhadapnya yang tak memiliki salah sedikitpun padaku.

“Terima kasih, Ali. Selamat jalan! Kan kujaga cahaya yang telah kau berikan padaku dan akan menjadi amal yang tak pernah putus bagimu.”, batinku.
-SELESAI-

Rabu, 14 Oktober 2009

cerpen: SENYUM TERAKHIR ADINDA

Farhan menatapku dengan penuh harapan, kubalas tatapannyauntuk menelusuri kesungguhannya. Sementara itu, Adinda menggenggam telapak tanganku. Ia berbisik perlahan pahaku, “Kak, gimana?”.

Bisikan Adinda mengalir ke dalam darahku, naluriku menyatakan bahwa Farhan adalah orang yang tepat bagi Adinda. Kulukiskan senyum tipis dan berkata, “Far, gue percaya sama lo. Jangan skitin Adinda ya!”

“Jadi, lo percayain Adinda ke gue?”, tanya Farhan dengan riangnya.

Kulihat Adinda tersenyum bahagia. Ia memelukku erat-erat.kurasakan air matanya menetes di dadaku, air mata kebahagiaan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Terima kasih ya, Kak. Aku senang akhirnya Kakak bisa percaya sama Dinda buat jatuh cinta.”, kata Adinda padaku.

“Sama-sama, Dik.”, balasku.

Kuraih jemari Farhan dan Adinda, kemudian kusatukan keduanya. Aku melihat rona kebahagiaan terus terpancar dari wajah halus Adinda. Bagaimana tidak, baru kali ini aku mengizinkan seorang lelaki mencintai Adinda.

“Dinda, Kakak gak akan halangi kamu untuk mencintai farhan, karena Kakak mau kamu terus tersenyum hingga waktu yang tak Kakak inginkan itu datang.”, pikirku.
***

Langit begitu pekat, tak ada satupun bintang yang mengedipkan cahayanya. Rembulan pun tak menampakkan kecantikannya. Semilir angin tak menghentikan cucuran keringat dingin yang mengalir di tubuhku, keringat yang tercipta oleh rasa khawatir.

“Ya Allah, ada apa ini, kenapa Adinda belum juga pulang?”, gumamku.
Kulihat jam dinding telah menunjukka pukul sepuluh malam, terlalu malam bagi Adinda untuk berada di luaran. Hatiku bergemuruh, naluriku merasakan detak-detak kekhawatiran di setiap detak jantungku.

Kucoba menghubungi Adinda, namun tak mendapat jawaban. Kuhubungi Farhan, tapi ponselnya tidak aktif. Aku berkata dalam hati kecilku, “ Ya Allah, lindungi Adinda! Hamba tidak mau terjadi apa-apa padanya.”

Terdengar suara pintu diketuk, disusul oleh suara Farhan, “Assalamu ‘Alaikum.”

Kubuka pintunya, lalu kulihat Farhan terengah-engah. Keringat mengalir deras dari seluruh tubuhnya. Mukanya pucat pasi, rambutnya tak lagi tertata-rapi.

“Ada apa, Far?”, tanyaku.

“Adinda…”

“Kenapa Adinda, dimana dia?”

“Dia..”

“Iya, dia kenapa?”

“Adinda masuk rumah sakit, Rik.”

Mendengar Adinda masuk rumah sakit, hatiku merasa pilu. Tak terasa air mata mengalir di sela-sela pipiku. Kuremas bahu Farhan dan bertanya padanya, “Kenapa Adinda bisa masuk rumah sakit?”

Ia tertunduk dan terdengar isak tangis darinya, kemudian menjawab pertanyaanku, “Gue gak tahu, Riki. Tiba-tiba saja dia merasa pusing, kemudian pungsan. Gue bawa dia ke rumah sakit.”

“Terus kenapa lo gak hubungi gue?”

“Hape gue mati, Rik. Baterainya lemah. Di hape Adinda gue ga nemuin nomor lo. Gue coba cari tumpangan untuk kesini, tapi gak ada yang mau nampung gue. Jangankan buat naik taksi, naik angkot pun gue gak ada ongkos. Duit gue abis buat administrasi Adinda di rumah sakit. Jadi, gue lari dari rumah sakit kesini.”

“Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!”, seruku penuh kecemasan.

Kukeluarkan mobil dari garasi, setelah Farhan masuk aku langsung menancap gas cepat-cepat menuju rumah sakit. Lampu-lampu Jakarta menatap tajam kea rah jalanan, menyelamatkan laju mobilku dari kebutaan.

Sesampainya di rumah sakit, kupeluk Adinda yang tengah berbaring tak berdaya. Aku tak kuasa membendung air mataku. Sedih sekali aku melihat adikku terbaring seperti itu. Jangankan tertawa, tersenyumpun ia tak bisa.

“Rik, maafin gue ya! Semua ini salah gue. Gue gak bisa jagain Adinda.” Kata Riki yang berdiri di sampingku.

“Gak ada yang harus di persalahkan. Semua ini udah diatur oleh Allah.”

“Gue inget kata-kata terakhir sebelum Adinda mengeluh pusing dan akhirnya pingsan.”

Aku tercengang mendengar ucapan Farhan, kemudian aku bertanya padanya, “Dia bilang apa, Han?”
Farhan tertunduk, lalu berucap, “Dia bilang…”

Belum sempat Farhan meneruskan kata-katanya, terdengar suara Adinda memanggil-manggil ayah dan ibu kami. Suaranya begitu lirih, hingga air mata mengalir begitu saja dari pipiku tanpa aku sadari.

“Ma, Pa. Dinda kangen sama kalian. Dinda mau kita kumpul lagikaya dulu.dinda sedih kalian gak pernah pulang.” Kata Adinda dengan lirihnya.

Mendengar Adinda mengeluh di alam bawah sadarnya, aku mengerti sekali akan kerinduan yang ia rasakan pada ayah dan ibu. Kutelepon ibu satu persatu dan kuminta untuk pulang dan menemui Adinda.

“Tapi, Mama sibuk disini.” Kata ibuku dari ujung telepon.

“Sibuk apa? Mama gak saying ya asama Adinda?” tanyaku bernada setengah tinggi.

“Mama kan harus ngurusin bisnis Mama disini. Kan uangnya buat kalian juga.”

“Kamu gak butuh uang berlimpah kalau kami sendiri gak pernah merasakan kasih sayang.”

Kuputuskan sambungan telepon dengan kekesalan yang menumpuk. Karena tidak mendapat tanggapan yang menyenangkan dari ibuku, maka kuputusan untuk menelepon ayah. Aku berharap beliau akan pulang dan menemui Adinda di rumah sakit, meskipun ia tak akan mau lama untuk meninggalakan pekerjaannya.

Jawaban dari Ayah sama saja dengan Ibu. Beliau tidak mau pulang, meski untuk menjenguk putrinya yang tengah terbaring lemah. Aku amat marah akan hal ini. Kubanting ponselku hingga tak berbentuk lagi. Semua komponennya hancur, namun tak sehancur hatiku yang menyaksikan adik perempuannya sakit keras dan orang tuanya enggan menemuinya.

Farhan berusaha untuk menenangkanku dan memberiku segelas air putih. Saat kuteguk air dalam gelas tersebut, kudengar suara Adinda memanggilku. Aku menoleh ke arahnya dan kulihat ia tengah menatapku. Melihat wajah pucatnya aku semakin pilu. Rasanya ingin sekali aku menggantikan posisinya.

“Kak, mana Mama sama Papa?” tanyanya padaku.

Aku tertunduk mendengar pertanyaan Adinda. Aku tak bernyali untuk mengatakan yang sesungguhnya. Sakit hatiku bila melihat adik tercintaku itu sedih.

“mereka akan pulang lusa, Dik.” kataku berbohong.
Adinda tersenyum mendengar perkataanku. Terlihat di wajahnya secercah harapan untuk bertemu Ayah dan Ibu. Namun, ia terpejam setelah tersenyum. Aku tak melihat perutnya mengembang dan mengempis. Aku bingung dan tak tahu harus bagaimana.

“Rik, Adinda gak bernapas.” Kata Farhan spontan.

“Apa?”

“Gue panggil dokter kesini.”
***

Dua bulan setelah Adinda terbaring lemah di rumah sakit karena kanker yang ia idap semakin menggerogoti otaknya, ayah dan ibu pulang secara bersamaan. Seolah-olah mereka telah merencanakan ini sebelumnya.

“Riki, dimana Adinda?” Tanya Ayah padaku.

“Iya. Mana, Rik?” lanjut Ibu.

“Kalian mau tahu Adinda dimana?” aku balik bertanya.

“Iya.” Jawab ayah dan ibu sambil bersamaan.

Kubawa mereka ke tempat Adinda berada. Sebuah makam yang selalu diberi rangkaian bunga oleh aku dan Farhan setiap harinya, dingga menumpuk di sekitar makamnya.

“Kamu jangan bercanda, Rik!” seru Ayah dengan marahnya.

“Aku gak bercanda.” Jawabku singkat.

“Jadi, adinda…” lanjut Ibu, namun kupotong, “Ya. Dia meninggal dan saat hari terakhrinya kalian gak ada yang mau menemuinya. Yang kalian pentingkan hanya uang dan uang. Sekarang, Adinda udah gak ada. Apa uang yang kalian dewakan bias mengembalikan Adinda?”

Ayah dan Ibu menangis sejadi-jadinya, beberapa kali terucap kata maaf dari bibir mereka.

“Terlambat.” Kataku seraya meninggalkan mereka.
-SELESAI-

Minggu, 11 Oktober 2009

cerpen: DANAU PELANGI


Binar kebahagiaan terlukis indah di wajahku saat Diana menancapkan mawarnya di hatiku. Senumnya seolah menjadi penghangat dalam hijan saat bulan januari.

“Tirta, kehadiranmu dalam hidupku ibarat pelangi yang hadir pasca hujan. Jadilah pelangi hatiku!” kata Diana.

“Aku melihat ada kesejukan di matamu yang memberi tetes kesegaran di hatiku yang semula gersang. Aku akan jadi pelangi bagimua, Diana.”

Aku terus menatap mata indah Diana yang memancarkan kesejukan bagiku, lalu kupeluk erat-erat tubuh mungilnya untuk beberapa saat, setelah itu kuremas jemarin tangannya untuk menyalurkan kehangatan cintaku padanya.

Hujan mengendurkan guyurannya, pelangi menampakkan warna-warninya bersamaan dengan titik-titik terakhir dari air langit, namun matahari belum menyusul.

“Ini saatnya aku mengajak dianamenikmati taman ini.” Pikirku, kemudian berkata padadiana,”Sayang, aku ingin megajakmu berkeliling taman ini, menatap indahny bunga-bunga yang bergembira setelah diguyur hujan dan biarlah pelangi menyaksikannya!”

Diana menganggukkan kepalanya seraya menyunggingkan senyun hangatnya. Kugandeng ia tanpa sedetikpun kulepas tangannya, karena aku tahu tak setiap hari aku dapat menggenggam jemarinya.

Kuhentikan langkahku di bawah sebuah pohon cemara. Sebuah danau terhampar indah di hadapan kami berdua. Kutarik diane menuju tepi danau yang menjadi wahana bermain bagi angsa-angsa dan hewan kecil lainnya.

“Tirta, lihatlah keluarga angsa itu! Mereka terlihat sangat bahagia bia berkumpul dan bermain-main di danau saat cuaca yang sejuk ini. Aku pun ingin seperti mereka kelak dan tentunya bersama kau dan anak-anak kita nantinya.”

“Kamu yakin bias menungguku?”

“Yakin sekali.”

Kudekap erat tubuh Diana dengan rasa penuh cinta. Kuhirup udara asmara ini agar dapat mengalir bersama sael-sel darahku dan tetap bersemayam dalam tubuhku.

Kulihat matahari telah nampak dan posisinya empat puluh lima derajat di sebelah barat. Pemandangan yang kurang mengenakan bagiku, karena harus berpisah dengan Diana.

“Ini saatnya aku mengantar kamu pulang, setelah itu aku harus kembali meninggalkan Jakarta.” Kataku

“Ya. Kita memang harus berpisah saat ini, tapi aku ingin hatimu tak pernah berpisah dari hatiku.”

“Pasti.”

Kuarahkan langkah kami menuju istana Diana. Namun, baru sampai gang ku mengantarnya, aku sudah dihentikan olehnya.

“Sampai sini saja kamu mengantarku!” ucap Diana.

“Kenapa?”

“Belum saatnya kamu ke rumahku.”

“Lalu kapan aku bias main ke rumah kamu?”

“Semua ada waktunya. Kamu tunggu saja!”

“Oke, kalau itu mau kamu. Kamu hati-hati di jalan! Aku pulang dulu. Takut kemalaman.”

Kupalingkan tubuhku kea rah berlawanan,kemudian kupacu sepeda motorku untuk jarak yang cukup jauh, menuju Serang, ibukota dari Provinsi Banten.

***

Beberapa hari berselang, aku tak pernah lagi menerima telepon atau SMS lagi darinya. Hal ini membuat hatiku takakruan. Kucoba meneleponnya, namun tak pernah ia angkat, ratusan SMS kukirimkan, namun tak ada jawaban.

“Kenapa Diana gak pernah bales SMS gue, bahkan teleponpun ga pernah diangkat? Apa aku punya salah ya? Tapi apa? Atau dia udah berpindah hati? Tapi kenapa dia bersikap mesra sama gue waktu itu?” pikirku dengan ribuan tanda tanya.

Lelah aku diacuhka,akhirnya aku mencapai titik jenuh dan memutuskan untuk menelepon Diana dengan nomorlain yang ia tidak keahui. Disini aku mendapat jawaban yang sungguh takpernah kuharapkan.

Saat terhubung dengan nomor selular Diana seorang lelaki berbicara padaku bahwa aku tak lagi diperkenankan untuk mengganggu hidup Diana lagi.

“Hey, siapa lo ngelarang gue berhubungan dengan Diana? Gue cowoknya” kataku dengan nada sangat tinggi.

“Tapi gak buat saat ini!” jawabnya.

Jawabannay semakin membuatku geram, kata-kata kasarpun tak sangguplagi terbendung dari bibirku.

“Gue ga percaya kalo ga denger dari mulut Diana sendiri.” Kataku setelah melepaskah cacian padanya.

“Oke!”

Setelah itu,kudengar indah suara Diana, namun tak seramah dan semanja beberapa waktu sebelumnya ketika aku menemuinya.

“Kenapa kamu masih ganggu aku. sekarang aku udah ma Dion. Aku bosan ma kamu yang gak selalu ada saat aku butuh kamu.” Kata Diana dengan kasarnya.

“Tapi, Na..”

“Tuttt… tuttt…” terdengar suara sambungan diputuskan dengan menyakitkan. Melemahkan seluruh isi dalam diriku, jiwa, raga dan semangatku.

Kini kurasakan kehilangan yang amat menyakitkan. Pedih sekali bila kuhirup. Semkin kuingat,maka akan semakin menyakitkan.

***

Dendam menggelayut di pundakku, namun cinta takpernah mau pergi dari hatiku. Aku memutuskan untuk pundah ke Jakarta agar dapat terus memperhatikan Diana,meski dari jauh.

Kubangun sebuah kafe untuk menopang kehidupanku di ibukota dan tak kusangka Diana yang tak mengetahui kafe ini milikku selalu dating setiap akhir pekan. Aku bahagia bias dengan mudah melihat senyum Diana, meski senyum itu untuk Dion.

Sabtu malam ini, kulihat Diana tengah terlibat pembicaraan serius dengan Dion. Rasa penasaran mencengkram jiwaku,maka kuperintahkan pelayan kafeku untuk mendengarkan pembicaraan mereka dengan cara berpura-pura membersihkan meja nomor delapan,meja yang terletak di sebelah meja Diana dan Dion duduk.

Beberapa saat kemudian Fani, pelayan yang kuperintahkan untuk menguping kembali dan mengabarkan sebuah berita yang dapat meremukkan hatiku. Diana hamil dan Dion tak mau bertanggungjawab.

“Fani, kamu panggil Boy dan Roni kemari!”

“Baik, Pak.”

Setelah Boy dan Roni menghadap, kuperintahkan untuk memegangi Dion agar tak kemana-mana. Setelah Dion terkunci, aku menghampirinya dan berkata,”Lo harus bertanggung jawab atas perbuatan lo!”

“Maksud lo?” tanay Dion bak orang kebingungan.

Mendengar pertanyaan Dion aku merasa geram dan melayangkan pukulan keras kea rah pelipisnya, hingga mengucurkan darah.

“Lo harus bertanggung jawab atas kehamilan Diana!” lajutku

“Kok lo tau?”

“Kafe ini puny ague, ajdi gue bias tau apapun yang gue ingin tahu di kafe ini.”

Diana menatapku dengan berlinang air mata. Aku berusaha tak melihat air matanya, karena itu hanya akan menyakitkanku saja.

“Tapi lo jangan perlakukan gue kayak maling gini, dong! Kita bicara secara jantan!”

“Oke. Boy, Ron, lepasin badut pasar ini!”

Setelah Boy dan ronimelepaskan Dion, dia kaur meninggalkan kafe. Tentu saja aku beserta Boy dan Roni mengejarnya dan ketika Dion hendak menyeberang jalan, sebuah truk melindasnya dan mengakhiri kehidupannya.

Diana mendekat dan berkata, “Sekarang siapa yang akan jadi ayah untuk anakku?”

“Aku.” Jawabku.

Diana menatapku dan langsung memelukku.

“Tirta, maafin aku, ya! Aku udah jahat menyia-nyiakan kesetiaan kamu.”

“Gak apa-apa. Aku akan menikahi kamu setelah anak yang kamu kandung lahir dan berusia delapan bulan, karena menikah saat hamil itu haram.”

“Terima kasih, Tirta. Kamu memang bagai air yang selalu memberi kesejukan”

Sementara itu, jenazah Dion telah dievakuasi oleh polisi yang tengah patroli dengan kasus kecerobohan menyebrang yang dilakukan oleh Dion.

***

Tiba saatnya aku menikahi Diana. Meski tak pernah mengenal malam pengantin, aku bahagia dapat hidupbersama bidadari hatiku.

Kukenalkan Dita, anak yang lahir dari rahim Diana dengan danau pelangi yang menyimpan sejarah cintaku bersama ibuya.

_TAMAT_

Senin, 10 Agustus 2009

Waktu, cinta dan luka


Serang, 2003. Aku mulai mengagumi sainganku, seorang anak perempuan yang terbilang pendek namun brilian, Riana namanya. Aku terpesona akan kecerdasannya. Sebagai seorang anak SD, aku sudah berani jatuh cinta padanya. Namun, waktu memisahkan kami. Saat sekolah meluluskan kami di tahun 2004, aku tak pernah lagi melihat dia.

Aku dan Riana masuk ke SMP yang berbeda. Riana masuk ke negeri, sedangkan aku di sekolah swasta. Di sekolah baruku aku sempat mengubur perasaanku dan mencari hati lain, namun tak pernah kutemukan. Aku berpikir mungkin ia sudah mendapatkan cinta di sekolah barunya di SMP Negeri 1. Akupun selalu mencoba mencari hati yang lain, namun hasilnya tetap nihil. Hal ini terjadi sampai aku lulus SMP dan sudah bekurang memori tentangnya.

Di SMA aku masih mencari hati yang tepat untukku dan pada smester kedua aku menemukan hati di sekolah lain, Nia namanya. Dia seorang modern dancer yang karirnya terus naik. Namun, hubunganku dengannya hanya bertahan tiga bulan saja. Begitu pula dengan yang lainnya, aku hanya mampu bertahan tiga bulan dengan mereka.

“Kenapa setiap kali aku menjalin hubungan dengan seorang gadis hanya mampu bertahan tiga bulan?”, Tanya benakku selalu.

Aku terus mencari jawaban, namun tak pernah kutemukan.

Waktu terus merangkak, entah berapa orang yang telah kupacari dan hanya bertahan tiga bulan. Tibalah saat aku menginjak kelas tiga di tahun 2009. aku menjadi panitia reuni antar alumni SDN 2 K lulusan 2004 san aku teringan akan masa lalulu yang pernah kucintai.

Aku terus mencari informasi tentangnya. Mulai dari tenya sana, Tanya sini sampai dating ke rumahnya. Namun aku mendapatkan fakta bahwa ia telah bersama dengan orang lain yang tentunya dia cintai. Akupun hanya mampu pasrah dan berdo’a agar dia bahagia dengan pangeran yang dia cintai.

Selasa, 04 Agustus 2009

puisi: MAWAR PUTUH

setiap embun yang melintas
terperangah akan harumya
setiap kumbang yang singgah
tersepsona akan indahnya

mawar putih yang tak pernah layu
meski tengah berseteru sengan kalbu
tak kan pernah jadi abu

mawar yang selalu kusimpan
dalam sanubari

Senin, 13 Juli 2009

kritik: sekolah yang menginjak tanda koma

SMA MU-SE, sekolah yang dahulu tersohor karena prestasi siswa dan siswinya, serta guru-guru yang berkompeten dan bertanggung jawabsekarang terpuruk karena siswanya kini terhambat untuk berkembang. Para siswanya sekarang merasa kecewa terhadap sekolahnya sendiri. Karena semua saran dan komentar tidak pernah ditanggapi serius oleh para guru dan kepala sekolahnya.
Mulai dari kepala sekolah yang tidak pernah hadir di sekolah sampai para guru yang hanya mengejar gaji yang lebih besar daripada gaji yang diberikan sekolah tersebut.
Bukan karena kesadaran masyarakat yang kurang terhadap sekolah tersebut, tapi keadaan internal sekolah yang tak pernah mendukung.
Saya, siswa sekolah tersebut merupakan salah satu siswa yang sangat kecewa. Karena program yang kurencanakan untuk kemajuan sekolah tersebut dibatalkan sepihak dan akhirnya sekolah menerima karmanya dengan hanya mendapatkan hanya dua orang murid saja di tahun ajaran 2009/2010.
Semoga para guru dapat sadar akan hal ini.

Rabu, 08 Juli 2009

kritik: SOSOK PEMIMPIN

8 Juli 2008, sebagian bahkan hampir semua orang menyebutnya sebagai pesta nasional, pesta demokrasi. karena di hari ini seluruh warga negara Indonesia memilih calon pemimpinnya. Tapi, apakah mereka benar-benar berjiwa pemimpin?
Mereka berkoar-koar, menebar janji untuk rakyat. Mereka akan menomor satukan rakyat, tapi apa mereka pernah mengfalah pada rakyat?
Kita lihat saja ketika mereka berkampanye! Kemacetan panjang terjadi, jalanan bising, sedangkan si calon pemimpin dengan ngebut dan dikawal polisi seenaknya melaju di hadapan oara korban macet. Uang dihambur-hamburkan untuk dana kampanye, sedangkan di sekitar mereka banyak manusia-manusia kelaparal, bahkan sampai menangis darah melihat anakknya ingin makan, sedang si calon pemimpin hanya peduli pada pencalonannya saja. Apa mereka berjiwa pemimpin?
Oleh karena itu saya merasa terpaksa untuk memilih para calon pemimpin itu, saya tidak mau menyesal nantinya dengan memilih calon pemimpin yang seperti itu. Saya yakin, beberapa waktu setelah mereka dilantik dan mengambil kebijakan, berjuta demo akan berhamburan, berjuta sesal akan bercokol di dada pemilihnya.
Lalu siapa sosok pemimpin yang sebenarnya?
Di Indonesia baru satu sosok pemimpin nasional yang benar-benar berjiwa pemimpin, beliau adalah Ir. Soekarno Rohimahullah. Belum ada pemimpin nasional yang berjiwa pemimpin seperti beliau, hanya satu, Sultah Hamengkubuwono XI, itupun hanya sebatas propinsi saja.
Namun, sosok pemimpin yang tidak akan pernah tergantikan adalah Nabi Muhammad SAW yang selalu mengutamakan kepentingan uatnya, bukan perutnya.
Kapan kita akan mendapatkan pemimpin dan calon pemimpin yang benar-benar berjiwa pemimpin?
Dari masa ke masa belum pernah ditemuka. Aku menunggu, kita semua menunggu sosok itu.
Karena di periode ini saya tidak menemukan sosok calon pemimpin yang berjiwa pemimpin, saya memutuskan untuk tidak memilih alisa golput alias golongan putih. Tapi, banyak orang mengatakan saya bukan warga negara yang baik karena tidak memiliuh para calon pemimpin, kemudian saya ingin membalikan pernyataan tersebut dengan sebuah pertanyaan, "Apakah mereka calon pemimpin yang baik?"

Sosok pemimpin
Pemimpin adalah seseorang yang mampu mengayomi, menjaga, melindungi, menolong, memperhatikan, menyelamatkan, mementingkan orang-orang yang dipimpinnya. Apakah kita temukan calon pemimpin yang seperti ini di pesta nasional ini?
Pesta demokrasi, hanya mengantarkan rasa keterpaksaan dan kekisruhan di masyarakat, menimbulkan perpecahan karena kampanye yang mereka lakukan. Jika ditimbang. bukankah lebih baik uang yang terhambur untuk kampanye itu untuk memberi makan si miskin yang merintih kelaparan?
Apa saya masih dikatakan warga negara yang tidak baik? Perbaiki dulu mental sebelum mencalonkan diri, baru saya akan memilih.

Sabtu, 04 Juli 2009

curhat: TERHEMPAS DARI KEHIDUPANNYA

Aku merasa tak berharga di matanya. Semua perjuangan dan pengorbananku untuknya tak pernah ia sambut dengan hati gembira. Ia tak pernah menatapku dengan kedua matanya, hanya sebelah yang ia gunakan untuk menatapku. seolah aku hanya benalu di kehidupannya. Aku tidak pernah mengharap apa-apa darinya, aku hanya ingin dia mengerti bahwa aku menyayanginya, aku menghargainya.
Aku sudah berusaha menjadi kakak yang baik untuknya, tapi dia tak pernah pedulikan itu. ia asik dengan kakak-kakak yang lain, yang tak pernah berkorban dan berjuang untuknya. Mereka hanya ingin bersenang-senang dengannya.
Aku harus terhempas dari kehidupannya, aku harus diusir dari hatinya. Betapa kecewa dan sakitnya katiku menerima kenyataan ini. Tidakkah dia tahu bahwa aku menyayanginya tanpa menginginkan apapun dari dia.

Selamat tinggal Novie!
Nikmati kehidupanmu!

Selasa, 30 Juni 2009

kritik:PERBEDAAN BAHASA ANTARA MALAYSIA DAN INDONESIA (BAHASA MALAYSIA ACAK-ACAKAN)

Catatan ini saya dapat dari grup di facebook saya yang bertajuk "SAY NO TO MALINGSIA, SAY YES TO INDONESIA SEJAHTERA!", dibuat oleh Johny Ramsoy. Grup tersebut mengirim pesan dengan subjek: perbedaan bahasa INDONESIA dan MALINGSIA..

Begini ini pesannya:

pelajaran pertama untuk MALAY, adalah berbahasa yang baik dan benar biar ketemu orang INDONESIA bisa enak ngobrolnya dan tidak salah paham ,
ini beberapa kosa kata yang harus di pelajari :

INDONESIA : Kementerian Hukum dan HAM
MALAYSIA : Kementerian Tuduh Menuduh

INDONESIA : Kementerian Agama
MALAYSIA : Kementerian Tak Berdosa … (oh please…)

INDONESIA : Angkatan Darat
MALAYSIA : Laskar Hentak-Hentak Bumi (Kalo Laut hentak2 aer kali ya?)

INDONESIA : Angkatan Udara
MALAYSIA : Laskar Angin-Angin..??was masuk angin..

INDONESIA : ‘Pasukaaan bubar jalan !!!’
MALAYSIA : ‘Pasukaaan cerai berai !!!’

INDONESIA : Merayap
MALAYSIA : Bersetubuh dengan bumi (-__-)hamil dnk buminya???

INDONESIA : rumah sakit bersalin
MALAYSIA : hospital korban lelaki (bener juga sih…)

INDONESIA : telepon selular
MALAYSIA : talipon bimbit ( mwahahahahha )

INDONESIA : Pasukan terjung payung
MALAYSIA : Aska begayut ( YOI! )apanya yg nge gayot??

INDONESIA : belok kiri, belok kanan
MALAYSIA : pusing kiri, pusing kanan ( kalo breakdance apaan? )

INDONESIA : Departemen Pertanian
MALAYSIA : Departemen Cucuk Tanam ( cucoook lo boook! )

INDONESIA : 6.30 = jam setengah tujuh
MALAYSIA : 6.30 = jam enam setengah..??dah pasin aja jdi 7 ma temen ini..

INDONESI A : gratis bicara 30menit
MALAYSIA : percuma berbual 30minit..hahahaha

INDONESIA : tidak bisa
MALAYSIA : tak boleh (bener2 gaul)

INDONESIA : Satpam/sekuriti
MAL AYSIA : Penunggu Maling ( gaul abis kan..?! )maling ko di tungguin..??kan bangsa lo sndiri yg maling?

INDONESIA : Aduk
MALAYSIA : Kacau (kacau emang dah)

INDONESIA : Di aduk hingga merata
MALAYSIA : kacaukan tuk datar (hahahahaha ngakak gua)

INDONESIA : putar-putar
MALAYSI A : pusing-pusing (lagian jgn muter2, pusing kan lo)

INDONESIA : Imut-imut
MALAYSIA : Comel benar (INI APAAN??!!!)msa iihh muka lo comel benar..??mau muji jdi ngatain?hahaha

INDONE SIA :bertengkar
MALAYSI A : bertumbuk (emang sih kalo ribut numbuk2 muka lawan make bogem)

INDONESIA : pemerkosaan
MALAYSI A : perogolan (uwow)

INDONESIA : Pencopet
MALAYSIA : Penyeluk Saku (yihaaaaaaaa…!)

INDONESIA : joystick
MALAYSIA : batang senang (yang bener..?batang siapa yg bkin senang?)

INDONE SIA : Tidur siang
MALAYSIA : Petang telentang ( kalo tidur malem “gelap tengkurep” dong)

INDONESIA : remote
MALAYSIA : kawalan jauh (tv nya dikawal dari jauh -__-)

INDONESIA : kulkas
MALAYSIA : peti sejuk (JACKPOT!)

INDONE SIA : rusak
MALAYSIA : tak sihat (”iya emang rusak tuh org!” = baca: sakit!)

INDONESIA : keliling kota
MALAYSIA : pusing pusing ke bandar (DUARRRRRRR!)pusing mah tiduran aja..

INDONESIA : Tank
MALAYSIA : Kereta kebal (Contoh dialog :”Wah, di Gaza lagi banyak kereta kebal nih!”)tekbal dnk keretanya??

INDONESIA : Kedatangan
MALAYSIA : ketibaan (untung bukan ketibanan)

INDONE SIA : bersenang-senang
MALAYSIA : berseronok (HIAHAHAHAHAHAHAH!)

INDONESIA : bioskop
MALAYSIA : panggung wayang (WOY WAYANG DI KLAIM JUGA NIH?! hahaha)

INDONESIA : rumah sakit jiwa
MALAYSIA : gubuk gila (ehm ehm)hahahahaha??

INDONESIA : dokter ahli jiwa
MALAYSIA : Dokter gila ( EHM EHM *lebih keras*)dokter ko di gila2 in.??

INDONESIA : WC/toilet
MALAYSIA : bilik termenung..(termenung smbil mmbuat gunung??kwakwauw

INDONES IA : narkoba
MALAYSIA : dadah (lah, apasih)say no to dadah..??hahahahaa

INDONESIA : pintu darurat
MALAYSIA : Pintu kecemasan (AAAAAAAAAAAAAAAAAAA AAAhahahahahha)

I NDONESIA : bola voli
MALAYSIA : bola tampar (bener jg sih..tpi knapa ga bola tampol ja??)

INDONESIA : pegawai sensus
MALAYSIA : pejabat banci (siaaaan bgt nih anak2nya kalo ditanya “Eh2 jono, bapa kamu kerja jd apa?”)

PEMENANG HARI INI!

INDONESIA : hantu Pocong
MALAYSIA : hantu Bungkus (pesen atu donk bang, cabe nya dikit aje togenya banyakin!!!)

B ro, gw masih ngakak ma joke ini . .
Bilang negara maju saja tata bahasa masih acak2n, itu dulu juga dikirimin guru dr Indonesia, gmn ga dikirim ?

Kebayang bodohnya sampe pak cik mak cik nya botak, ga beres2 bodohnya ^^.
dan sekarang majalah hai juga di jiplak di malaysia..tggu pesan slanjutnya..

lucu kan bahasa si MALING?

Kamis, 07 Mei 2009

cepen: BADAI TENGAH MALAM



Langit berwarna hitam, rembulan dan bintang-bintang disembunyikan di balik awan gelap yang bersip menyerang bumi dengan rintik hujnya. Kegelisahan menghampiriku, seorang pedagang buah yang menanti isterinya yang belum pulang bekerja di sebuah pabrik di kawasan Serang Timur. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun isteriku, Maya belum juga pulang.

“Kang, hari ini aku mau lembur.” kata Maya sebelum ia berangkat bekerja pukul setengah lima pagi.

“Jam berapa kamu pulang?” tanyaku

“Paling jam dua belas malam, Kang. Ya sudah, aku berangkat dulu ya, Kang. Assalamu 'Alaikum”.

Maya berlari ke depan rumah tanpa mencium tanganku seperti yang dilakukan isteri orang lain kepada suaminya. Sering muncul dalam benakku prasangka buruk tentang sikap Maya padaku.

“Apakah Maya sudah tidak mencintaiku lagi?” begitulah gerutu yang sering muncul di benakku.

Maklumlah, setelah berhenti dari perusahan lamaku karena separuh lenganku terpotong mesin pemotong kertas aku tak lagi diterima bekerja di perusahaan manapun karena cacat. Mayalah yang menggantikanku mencari nafkah. Ia diterima di perusahaan produsen sepatu sebagai sekretaris salah satu divisi perusahaan tersebut.

Lonceng jam berdentang dua belas kali, membuyarkan nostalgiaku. Namun, Maya belum juga menginjakkan kaki di rumah. Aku pun bosan menunggu, ku putuskan untuk menutup pintu dan menguncinya karena mataku mulai lelah. Kalaupun Maya pulang ia akan mengetuk pintu keras-keras seperti malam-malam sebelumnya.

Namun, ketika aku berdiri di gawang pintu, ku lihat Maya turun dari sebuah sedan mewah, dipapah oleh seorang yang usianya tak jauh beda denganku, hanya saja ia berparas oriental, pikirku ia adalah bos Maya.

Ku hampiri isteriku yang tengah dipapah oleh pria oriental tersebut. Aku mengendus bau alkohol daro mulut Maya dan pria oriental itu.

“May, kau mabuk?” tanyaku bernada agak tinggi.

Maya tak menjawab, namun pria oroental tersbut yang menjawabnya, “Betul. Maya mabuk. Dia terlalu banyak minum tadi di ruanganku”.

“Memangnya apa yang kalian lakukak di ruangan anda? Lalu, siapa anda ini?”

“Pesta. Aku Mr. Ronald. Maya adalah sekretarisku.”

“Pesta?”

“Ya. Setiap malam kami berpesta berdua. Kami lakukan apapun yang kami mau di pesta empat mata kamu. Bahkan pesta suami isteri kami lakukan di lantai.”

Hatiku bagai tersambar halilintar mendengar penjelasan dari Mr. Ronald. Jantungku berdebar kencang tak terendali. Ku tarik Maya dari lelaki itu dan aku bertanya pada isteriku, “Maya, kau selungkuh dengan bosmu?!”

“Kalau ya memang kenapa.” jawab Maya.

Ku layangkan telapak tanganku ke pipinya berulang kali. Maya hanya tertawa dan mengeratlkan pelukannya kepada Mr. Ronald. Hatiku bertambah sakit hingga ku pisahkan mereka berdua dan ku pukuli Mr. Ronald secara membabi buta hingga terjatuh ke tanah becek yang terserang hujan, lalu ku injak-injak perut dan kepalanya. Darah segar mengucur dari kepalanya.

Maya berusaha menghentikanku, namun aku tak menghiraukan nya. Aku malah memukulnya sekuat tenaga yang terdorong oleh kecemburuan mendalam hingga ia tersungkur.

Ku tinggalkan Maya dan selingkuhannya yang dalam keadaan lemah ke dalam rumah. Ku bawa Ikhsan dan Mukhsin, remaja kembar berusia tujuh belas tahun, buah dari perkawinanku dengan Maya yang ku panggil ketika tetidur lelap di kamarnya.

“Lihat ibumu! Ayah menghajarnya karena dia selingkuh dengan bosnya. Setiap malam berpesta cinta di ruangan orang asing itu.” kataku pada Ikhsan dan Mukhsin.

“Apa?!” sahut Mukhsin yang kaget.

“Bunuh saja orang asing itu, Yah!” sambut Ikhsan

Mendengar ucapan Ikhsan aku mulai gelap mata. Ku ambil golok dari dalam rumah dan ku tarik nyawa Mr. Ronald dengan golok itu.

“Arrkhhh” rintih Mr. Ronal ketika ku tarik nyawanya.

Ikhsan dan Mukhsin hanya terperangan melihat aksi brutalku. Mereka seolah tak percaya melihat ayahnya yang dikenal lembut bisa menghabisi nyawa orang lain.

Selanjutnya, aku langsung menceraikan Maya yang kemudian terganggu jiwanya. Ia selalu mengatakan, “Mr. Ronald, I love you” tiada hentinya.

Namun, aku harus merasakan dinginnya ruang penjara selama lima belas tahun lamanya. Meninggalkan Ikhsan dan Mukhsin yang ku titipkan di rumah adikku, Permana dan isterinya.

Kamis, 30 April 2009

cerpen: SAAT PUNAMA BERSEMBUNYI VERION II (versi revisi)


Langit berwarna hitam kelam, awan menyembunyikan rembulan yang harusnya menjadi purnama dan menitikkan hujan yang menebar hawa dingin. Namun, keringat dingin tak henti mengucur di sekujur tubuh Andra, Pak Suryo dan Bu Suryo. Mereka berbalut kecemasan saat memasangkan diri di atas bangku biru yang berjajar di depan sebuah ruangan dalam rumah bernuansa obat.
“Ibu takut, Yah” ujar Bu Suryo pada Pak Suryo dengan alunan tangis sendunya.
“Sabarlah, Bu. Kita berdo’a saja semoga operasinya berhasil” sambut Pak Suryo yang mencoba untuk menenangkan isterinya.
Pak Suryo memeluk Bu Suryo erat-erat, berharap agar beliau dapat menenangkan jiwa istereinya yang semakin rapuh. Sedangkan Andra hanya bisa termenung, hatinya berdiri di atas kecemasan yang tinggi. Kepalanya selalu ia tundukkan ke bawah dan mengucurkan keringat yang sesekali menetes ke lantai.
Detik jam terdengar jelas, teses air hujan yang menimpa atap pun demikian. Andra mulai mengangkat kepalanya, mengarahkan pandangan ke jarum jam.
“Sudah jam delapan Mbak Rini belum juga dating. Bukankah sudah tadi siang aku kabari. Kemana dia?” gerutu Andra dalam hati.
Andra sudah mulai gusar. Ia mengangkat kaki, melepas diri dari pangkuan bangku biru yang mengabdi untuk menunggu.
“Yah, BU! Aku menjemput Mbak Rini dulu ke rumahya. Sudah setengah jam Bang Rian di ruang operasi belumjuga dating. Apa kasih sayangnya pada Bang Rian sudah pudar?!” kata Andra kepada Pak Suryo isterinya berniat meminta izin untuk menjempur Rini, kekasih Rian.
“Ya sudah. Hati-hati, ya!” jawab Pak Suryo.
Pandangan Andra mengarah pada Bu Suryo mengartikan permohonan izinnya karena Bu Suryo hanya bisa menampakkan tangis tanpa kata. Bu Suryo mengangguk, Andra mengerti bahwa ibunya mengizinkannya pergi. Ia pun bergegas pergi meninggalkan rumh sakit dan menancap gas Blezer hitamnya menyusurui jalanan ibu kota yang licin terguyur hujan yang tak juga menandakan bahwa serangannya akan berhenti.
Rian menerjang aspal bagai angin. Lampu merah diterobosnya dan tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor terserempet olehnya.
“Dragh…!” suara benturan mobil Andra dan pengendara sepeda motor itu terdengar menggema dan terdengar oleh orang-orang disekitar perempatan jalan yang bergegas menyongsong tepat Andra menabrak pengendara sepeda motor. Sepeda motor yang ia serempet terkapar di tengah jalan dan pengendaranya menggelinding ke pinggir jalan.
“Sial!” ucap Andra sambil memkul stir mobilnya. Tiga orang berwajah api menggedor kaca mobilnya.
“Buka!” kata salah seorang dari mereka.
Andra membuka pintu mobilnya dan tinju melayang ke wajahnya hingga terlukis beberapa memar karya ketiga orang tersebut. Tepisan yang dilakuakan Andra sia-sia, karena tiga orang yang dihadapinya.
“Ampun! Ampun!” ucap andra, namun ketiga orang tersebut tak mempedulikan dan terus melayangkan pukulan ke sekujur tubuh Andra. Sedangkan lebih dari lima orang membantu korban yang terserempet oleh Andra. Untungnya pengendara sepeda motor tersebut tidak mengalami luka yang serius, hanya luka ringan pada siku dan lutut. Tapi, keadaan sepeda motornya yang mengalami rusak parah karena sempat terlindas oleh truk yang saat itu kebetulan melintas.
Andra tersungkur ke tanah, lututnya mengadu dengan aspal. Salah tau dari tiga orang yang memukulinya mengangkat Andra dengan meremas kerah bajunya dan bersiap melancangkan pukulan keras ke wajah Andra, namun korban yang terserempet oleh Andra menghentikannya.
“Hentikan!” kata pengendara sepeda moptor tersebut, kemudian menghampiri Andra yang sudah nampak lemas. Ia membangunkan Andra dan membawanya ke sebuah kios di pinggir jalan. Yang menyaksikan hal tyersebut hanya bisa terperangah tak percaya. Karena tak ada ekspresi kemarahan di raut wajah pengendara sepeda motor tersebut.
Mobil Andra dan motor yang remuk karena terserempet dan terlindas truk tersebut pun telah dipinggirkan karena membuat macet lalu lintas.
“Kenapa kau menerobos lampu merah?” tanya pengendara sepeda motor kepada Andra sambil memberinya air mineral.
“Aku sedang buru-buru hendak menjemput kekasih kakakku karena kakakku sedang operasi sekarang” jawab Andra yang menitikkan air mata. Bukan karena rasa sakitnya, namun karena ketakutannya kehilangan kakakknya yang sedang berjuang di ruang operasi.
“Oh, sekarang dimana rumah kekasih kakakmu itu?”
Andra menjelaskan alamat Rini secara rinci kepada pengendara motor yang ia tabrak tersebut.
“Baiklah kalau begitu. Siapa namamu?”
“Andra. Nama Bapak?”
“Saya Aji. Sekarang kau tunggalkan tempat ini dan jemput kekasih kakakmu itu sebelum semuanya terlambat!”
Andra sempat terbegong karena Pak Aji yang seharusnya menuntut ganti rugi malah menyuruhnya pergi. Tapi, Andra tidak mau lepas tanggung jawab. Ia menyerahkan kunci mobilnya untuk jaminan sebelum ia mengganti rugi kepada Pak Ajin namun Pak Aji menolaknya.
“Sudah, bawa saja mobilmu!”
“Tapi, Pak…”
“Sudah bawa saja!”
“Tapi saya tidak mau lepas tanggung jawab”
“Kakakku lebih membutuhkan ketepatan waktumu. Jadi, bawalah mobilmu untuk mengejar waktu yang sempat terbuang tadi.
“Tapi…”
“Aku pernah mengalami apa yang kau alami saat ini”
Andra terperangah mendengar kata-kata Pak Aji. Ia tak menyangka bahwa orang di hadapannya pernah mengalami hal yang ia alami kini.
“Heh, kenapa bengong?” tanya Pak Aji mengagetkan Andra.
Andra tersadar dan tiba-tiba menyeret Pak Aji masuk ke mobilnya yang langsung melesat tanpa kata selamat tinggal kepada orang-orang yang sejak tadi menyaksikan drama yang mereka anggap aneh dari Andra dan Pak Aji.
Jalanan aspal terus diterpa oleh Blezer hitam yang body-nya kempt akibat menyerempet motor Pak Aji sebelumnya.
Andra mengatakan sesuatu pada Pak Aji, “Aku…”, belum selesai Andra bicara, Pak Aji sudah menyela, “Aku mengerti maksudmu. Fokuslah ke jalanan, jangan sampai hal tadi terulang kembali!”
Menempuh waktu perjalanan sekitar sepuluh menit sampailah Bezer hitam tersebut di depan rumah Rini. Andra meninggalkan Pak Aji di dalam mobil dan langsung mengetuk pintu.
“kreeek…” pintu dika dan keluarlah Rini dengan baju hangat dan muka heran melihat Andra yang dating malam-malam ke rumahnya, apalagi malam tengah berbalut hujan.
“Andra, ada apa malam-malam begini kamu ke rumah Mbak? Hujan lagi” tanya Rini.
“Ada apa, ada apa! Mbak kan sudah ku kirim SMS bahwa hari ini Bang Rian operasi. Lalu kenapa Mbak tidak datang” jawab Andra dengan nada di atas ubun-ubun.
“Andra, kau lupa ya. HP Mbak kan hilang” balas Rini dengan nada jauh di bawah nada bicara Andra.
Andra menepukkan tangan ke dahinya dan, “Astaghfirullah! Aku lupa” katanya.
“Ya sudah, kita ke rumah sakit sekarang!” seru Rini.
Rini mengunci pintu dan segera mengajak Andra ke rumah sakit tanpa mengganti bajunya. Saat masuk mobil ia kaget melihat Pak Aji.
“Saya Aji. Kau Rini kan?!”
Rini hanya diam terperangah, namun Pak Aji mengobati keheranannya dengan bercerita apa yang terjadi sebelum Andra ke rumahnya. Maka, terobatilah keheranan Rini.
Hujan belum juga menghentikan mengirimkan pasukan rintik air ke bumi yang makin hari makin gersang.
Roda terus menggilan aspal, hingga akhirnya sampai di rumah sakit setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit.
Ponsel Andra berdering. Rupanya Pak Suryo mengabari bahwa operasi Rian berhasil dan kini ia dipindahkan ke ruang ICU. Raut kegembiraan terpancar dari wajah-wajah yang semula cumas selama perjalanan menuju rumah sakit.
Mereka langsung menuju ruang ICU dan menemui Bapak dan Ibu Suryo di depan ruangan tersebut.Melihat Rini Pak Suryo tak mampu membendung emosinya dan langsung meluapkan amarahnya pada Rini.
“Kemana saja kau? Rian disini berjuang melawan maut dan kau tidak ada di sisinya. Dimana kasih sayangmu? Dimana hatimu?”
“Maaf, Om. Aku tidak tahu bahwa Rian sedang operasi”
“Bukankah Andra sudah mengabarimu?”
“Ya, tapi bagaimana kabar itui bisa sampai kepadaku, sedangkan HP-ku saja hilang, Om. Om lupa?”
Rini mengucurkan air mata. Di hatinya bercampur rasa bersalah, kecewa dan takut kehilangan.
Pak Aji tiba-tiba angkat bicara, “Sudahlah! Ini rumah sakit, tidak baik ribut-ribut.”
“Anda siapa?” tanya Bu Suryo.
“Saya Aji. Saya…”
“Pak Aji korbanku, Bu. Beliau terserempet saat aku menerobos lampu merah ketika perjalanan ke rumah Mbak Rini. Aku membawanya kesini untuk mengganti keruguannya” sela Andra.
“Sudahlah! Tidak usah” timpal Pak Aji.
“Tapi sepeda motor Bapak hancur” lanjut Andra.
“Sepeda motorku hancur bukan karena kau, tapi karena truk yang menggilasnya. Jadi, kau tidak perlu mengganti kerugianku”
“Tapi itu gara-gara mobilku menyerempet sepeda motor Bapak”
Pak Aji melangkah meninggalkan keluarga Pak Suryo, namun dicegah oleh Pak Suryo.
“Tunggu, Pak! Kami akan ganti kerugianmu” kata pak Suryo.
“Tidak usah. Kalian sedang tertimpa musibah dan aku tidak sehartusnya menambah beban kalian. Selamat tinggal!”
“Tinggu, Pak! Pak”
Pak Aji terus melangkahkan kaki meninggalkan Pak Suryo dan keluarganya hingga hilang di balik koridor.
Setelah perhatian kepada Pak Aji reda, Rini meminta izin untuk melihat keadaan Rian. Setelah diizinkan Rinipun masuk ke ruang ICU dan mendapati Andra telah siuman. Rini memanggil
Bapak dan Ibu Suryo serta Andra untuk masuk dan melihat keadaan Rian yang telah siuman.
“Mukjizat” ucap Pak Suryo.
Rini mendekat dan memeluk tangan Rian. “Maafkan aku tak datang saat kau operasi” katanya.
Rian mengangguk dan berkata, “Aku ingin bicara pada kalian semua”
“Kau hendak bicara apa, Nak?” tanya Bu Suryo.
“Ayah, Ibu! Aku ingin mengucapkan terimakasih atas kasih saying yang kalian berikan. Aku juga minta maaf jika aku hanya menyusahkan kalian saja. Andra, kau lanjutkan perjuanganmu untuk menembus dapur rekaman. Kejar terus mimpimu! Rini, aku mencintaimu hingga akhir waktuku”.
“Aku juga mencintaimu” jawab Rini.
Rian membelai pipi halus Rini yang dilalui air mata, kemudian mencium tangan kedua orang tuanya dan terakhir menggenggam tangan Andra untuk mengalirkan api semangat di jiwaadiknya tersebut.
“Selamat tinggal!” kata rian kemudian matanya terpejam.
“Rian?” refleks Bu Suryo yang kaget melihat anaknya terpejam lagi. Pak Suryo memanggil dokter dan saat tiba di ruangan Rian, dokter langsung bertindak. Namun, hasilnya bihil.
“Rian telah pergi” kata dokter lemas.
Tangis meledak ketika dokter berkata bahwa Rian telah pergi meninggalkan dunia. Mereka tak petcaya ini terjadi karena Rian menyentuk mereka sebelumnya dan kini ia telah tiada.
Belaian, genggaman dan ciuman tangannya terhadap orang-orang yang ia sayangi ternyata sebuah tanda perpisajhan yang disaksikan oleh malam hujan yang menyembunyikan purnama. Hujan itu ada;ah utusan tuhan untuk membasahi tanah sebagai persemayaman terakhir nagi Rian.

Sabtu, 25 April 2009

cerpen: HATI DI DUA KOTA (untuk sahabat-sahabatku yang long distance love)


Banjar, Jawa Barat. Kota yang membesarkanku dari mulai membuka kehidupan hingga kini. Tuhan mentakdirkan aku sebagai pasangan dari kaum adam, trelahir dari rahim seorang yang kini ku panggil ibu, hasil pemersatuan benih dengan suaminya yang ku panggil ayah. Mereka menulis nama Ratna Pratiwi dalam kehidupanku.

Kini masa itu telah terlewatkan, aku tengah berjuang di bangku SMA kini. Yah, masa puberku sudah pasti hinggap dalam diriku. Aku mulai mengagumi kaum adam, hingga aku dipersatukan dengan seorang bernama Ardi. Namun, hubungan kami harus trpisah oleh jarah yang menghalangi raga kami. Tapi, hatiku tak pernah melepas genggaman dari hati Ardi. Ardi telah mneumpahkan kepercayaannya di lentera kalbuku, hingga aku tak dihinggapi rasa curiga sedikitpun. Demikian pula aku, ku tanamkan kepercayaan di kebun cintanya.

Ku lepas Ardi di Ibu Kota Povinsi Jawa Barat karena ia tak mungkin meninggalkan kota itu. Keluarga dan penidikannya disana dan aku sebaliknya, keluarga dan pendidikanku disini. Kami bias bertemu kare saat itu ia sedang berlibur di kampungku dan peri cinta meemanahkan mata panahnya kea rah kami.

Namun, kepercayaanku dipatahkan oleh Ardi. Aku mendapatkan pengakuan dari mulutnya sendiri saat ia menghubungiku lewat udara.

“Ratna, aku sedang dekat dengan seorang gadis disini” kata Ardi bernada lurus.

“Apa? Kau kan punya aku, kenapa masih saja kau dekati gadis lain?”

“Aku dan dia hanya bersahabat, Na”

“Bersahabat? Kalau dia jadi mencintaimu bagaimana atau kau yang malah akan mencintainya?”

“Tenang saja! Aku tidak akan mengkhianati cinta kita”

“Ah, Bullshit!”

Ku putuskan sambungan teleponku dengannya. Aku menangis tersedu-sedu. Aku bingung, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bias membuang-buang air mataku dalam kekecewaan.

Ku ingin mencurahkan keadaanku pada seseorang, tapi tak ada yang mau medengarkan aku. Aku pun teringat sahabatku yang bernama Amir yang berdomisili di provinsi tetangga Jakarta, provinsi yang terkenal dengan jawara-jawaranya dan keseniannya yang sangat terkenal, yaitu debus.

Ku telepon sahabatku itu dan untunglah dia mau mendengarkan curahan hatiku. Bahkan dia memberikan saran dan mampu membuatku tersenyum dan tertawa lagi.

“Mir, kekasihku berkhianat, Mir”

“Ah, yang benar?”

“Benar. Ku dengar sendiri dari mulutnya”

“Coba ceritakan”

Ku ceritakan hal itu pada sahabat jauhku itu dan ia menanggapi dengan kalimat, “Na, mungkin saja mereka benar-benar bersahabat. Jangan kamu merasa curiga pada kekasihmu”.

Dari situ aku mulai meluruhkan rasa curiga dan cemburuku. Aku menjaga kepercayaanku pada Ardi. Aku tak mau hubungan kami berantakan hanya karena rasa curiga dan cemburu.

Minggu, 19 April 2009

cerpen: MELANGKAH DI ATAS KETIDAKPASTIAN


Dion namaku, aku suka melakukan hal-hal yang berbau petualangan. Aku tidak suka diganggu dan aku mempunyai prinsip wajib menepati janji. Rambutku hitam, mataku berukuran sedang dan berlensa cokelat, kulitku sawo matang, tinggi badanku 170 cm.

Aku mempunyai janji pada seorang yang pernah singgah di hatiku dan sekarang telah pergi jauh meninggalkan aku demi lelaki lain yang menggodanya. Sakit memang, namu aku harus tetap menepati janjiku, karena aku mempunyai prinsip bahwa janji adalah janji dan harus ditepati.
Langit masih terlihat agak gelap karena langit masih mengintip-intip dunia. Aku berdiri di pinggir jalan dengan menggendong tas berisi sebuah kado di pungungku. Hatiku berdebar dan rasa psimis menggelayut di pundakku. Namun aroma cinta mampu membuatku lupa akan psimisku.

Ku tumpangi angkutan kota yang berhenti di hadapanku. Dengan kecepatan di atas 60 kilometer per jam kuda beri itu memutar keempat kakinya menuju tempat dimana seluruh angkutan dari berbagai jenis berkumpul untuk berburu penumpang. Setelah membayar retribusi, nagkutan kota yang ku tumpangi masuk dan berhenti dan berbaris dengan angkutan yang sejenis dengannya. Akupun turun dan membayar okngkos kepada sopir yang memasang wajah penuh pengharapan atas rezeki yang tuhan merikan mealui penumpangnya, termasuk aku.

Disinilah aku memulai perjalananku. Langkah pertama ku seret ke arah sebuah bus yang bertrayek Kampung Rambutan-merak.

“Rambutan…. Rambutan…. Rambutan….” Teriak kondektur bus tersebut.

Aku melangkah menuju pintu bus itu dan kondektur bus membuka pintu untuk mempersilakan aku naik. Kemudian aku berada di ruangan penuh kursi penumpang, berhawa dingin dan terpampang televisi di depan. Aku duduk dan menikmati kenyamanan fasilitas yang deberikan. Setelah penuh, bus bergerak dan melaju cepat memalu jalan tol ke arah Jakarta.

Sepanjang perjalanan pikiranku melayang dan cemas. Aku bergumam dalam hati, “Apakah aku akan dapat bertemu dengan Novi, sedangkan aku tak pernah debri tahu dimana letak rumahnya. Aku hanya tahu arahnya saja dan kandas di sebuah gang sempit sebelah apotek”. Pikiran tersebut terus menggelayutiku sepanjang perjalanan.

Sekitar satu setengah jam aku di dalam bus, akhirnya aku sampai di Terminal Kampung Rambutan yang terletak di Jakarta bagian timur. Ku hirup udara bebas dar kurasakan resapan matahari yang sudah menampakkan sinaran dan hangatnya. Aku menyeret langkah ke sebuah kios dan membeli sebungkus rokok.

“Pak, rokok sebungkus!” pintaku dan pemilik kios memberikan sebungkus rokok yang berasa menthol padaku.

“Sekalian korek apinya, Pak!” pintaku lagi, pemilik kios itu memberiku korek api batangan.

“Maaf, yang gas saja, Pak!” seruku.

“Oh, maaf! Yang gasnya habis” jawab pemilik kios.

Aku mamandang beberapa korek api gas yang terjejer di etalase kios. Pemilik kios itu mengerti
apa maksudku dan ia berkata, “Oh, yang itu rusak. Maaf ya anak muda!”

Yah, akhirnya ku beli rokok beserta korek api batangan yang terkadang membuatku kesulitan untuk mengasilkan api. Ku sulut dank u hisap rokok yang kubeli untuk menemaniku mencari angkutan kota bernomor 03 jurusan Cililitan.

Ku teropong sudut-sudut Terminal Kampung Rambutan, mencari angkutan kota yang bernomor 03. Akhirnya ku temukan angkutan kota bernomor 03 dan kuhampiri mobil tersebut.

“Pak, Litan?” tanyaku pada sopir yang sudah renta.

“Ya” jawabnya.

Aku duduk di muka, samping Pak Sopir renta yang berburu penumpang. Wajahnya melukiskan kecemasan karena sedikit penumpang yang dapat ia jaring.

Melintas Jalan Baru, lalu Pasar Rebo, Taman Mini Indonesia Indah, terus lurus hingga tiba di Kecamatan Kramat Jati. Disinilah Cililitan terletak. Aku turun di depan sebuah apotek dan memasuki gang kesil di sebelahnya. Aku menembus gang dan melintasi jembatan kecil. Sampai di seberang jembatan aku mulai bingung dan resah.

“Aduh, dimana rumah Novi?” Tanya ku dalam hati.

Ku teropong sekitar komplek tersebut dan ku lihat seorang wanita setengah baya. Ku panggil wanita tersebut dan bertanya, “Bu, tahu rumahnya Novi?”

“Novi mana?” wanita itu balik bertanya.

“Novi yang sekolah di SMK Budhi Warman kelas dua Akuntansi” jawabku.

“Aduh, tidak tahu. Coba kamu tanya pada yang lain mungkin tahu” katanya.

Aku mencari orang lain yang bisa ku tanyai soal tempat tinggal Novi dan ku lihat seorang gadis kira-kira 19 tahun, kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “Maaf, Mbak! Tahu rumahnya Novi tidak?”.

“Novi mana ya?” .

“Novi yang sekolah di SMK Budhi Warman kelas dua Akuntansi”.

“Aduh, tahu juga Novi yang sudah keluar dan akan menikah”.
"Aduh! Bagaimana ini?" gumamku.

"Memangnya RT mana?"

"Saya lupa, Mbak" jawabku beralasan palsu.

"Kamu telepon saja!"

"Nomornya tidak aktif, Mbak".

"Aduh! susah juga kalau begitu".
"Ya sudah. Terima kasih, Mbak!"

"Ya, sama-sama".

Wanita yang lebih tua 2 tahun dariku itu pamit untuk melanjutkan langkahnya yang sempat ku halangi. Aku mengambil napas besar untuk mengumpulkan kembali semangatku dan membuang jauh-jauh keputus asaanku. Ku seret lagi langkahku menyusuri komplek yang padat dan luas dengan keringat yang semakin membanjiri tubuhku.

Setiap orang yang ku temua kutanyai dimana rumah Novi, tapi tak ada satupun yang mengetahuinya. Hingga tenggorokanku tandus tak ku temukan juga rumah bidadari yang telah meninggalkan aku itu. Untuk menyiram tenggorokanku, aku membeli segelan air mineral dingin d sebuag warung. Sambil menyelam minum air, ku tanya alamat Novi pada pemilik warung tersebut.

"Maaf, Pak! Bapak tahu dimana rumahnya Novi?"

"Oh, yang pakai jilbab?"
"Ya, betul!"

"Yang akan menikah?"

"Menikah? Bukan, Pak. Dia masih SMK kelas dua. Dia sekolah di SMK Budhi Warman, Pak".

"Aduh! Maaf saya tidak tahu!"

"Oh, terima kasih, Pak!"

Aku pergi maninggalkan warung tersebut dan melanjutkan penelusuranku. Tulang terasa hampir patah, kulit mulai terbalut daebu, mataku mulai merabun. Rumah Novi tak juga ku temukan.

Bagaimana aku tidak was-was? Aku datang membawa janji. Aku takut bila tak ku tepati janjiku, aku bisa celaka nanti di alam baqa. Matahari telah berada di ubun-ubunku, suara adzan berkumandang. Akupun sholat dan memanjatkan do'a yang disertai nazar kepada Allah. Aku bernazar bahwa bila aku dapat menemukan alamat Novi, Aku akan berpuasa keesokan harnya. Namun, do'aku belum didengar rupanya oleh Tuhanku itu.
Akupun pulang dengan langkah kecewa, berusaha menghapus getir yang mengerumuni jiwaku. Tanpa permisi pada angi ku tinggalkan Cililitan dan bergerak ke gerbang antar kota. Ku naiki sebuah bus kota. Belum semenit aku merebahkan diri di atas kursi penumpang, seorang pedagang jam tangan menghampiriku dan menawarkan barang dagangannya.

"Mas, jamnya, Mas!" kata pedagang jam itu padaku.

"Maaf! Saya tidak tertarik" jawabku.

"Cobalah dulu. Saya kasih harga spesial untuk Mas".

"Tidak, Mas. Terima kash!".

"Tawar-tawarlah dulu" kata penjual tersebut yang terkesan memaksa.

"Tidak!"

"Tawar dulu lah, jangan bilang tidak dulu!"

Aku mulai geram dan berkata, "Memangnya berapa harganya?"

"Tujuh puluh lima ribu, Mas".

"Hah?! Saya tawar dua puluh lima ribu"

"Yang benar saja! Saya belanja tidak segitu".

"Ya sudah saya tidak beli".

"Ya sudah dua puluh lima ribu".

"Saya bilang tidak jadi beli" kataku dengan nada yang memuncak karena darahkupun telah berada di ubu-ubun.

"Apa-apan ini? Menawar tapi tidak membeli" kata penjual jam tersebut ketus.

Aku bertambah marah dan berkata dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya, " Bukankah saya sudah bilang tidak ingin beli dari awal, mengapa Mas masih memaksa? Anda mau berdagang atau memeras?"

Penjual jam tersebut mengepalkan tangan dan bersiap meninjuku, namun ku tangkis dan ku beri tendangan di perutnya, lalu ku layangkan bogem mentah ke rahangnya. Dengan penuh amarah, ku tendang keluar bus. Dengan demikian, pahamlah dia bahwa aku orang Banten.

"Pergi kau! Membuatku semakin pusing saja!" bentakku seraya menunjuk matanya.

Tak ku sadari, kado ulang tahun dalam tasku yang tak sampai ke tangan Novi rusak karena terinjak-injak dan tertindih penjual jam tersebut saat aku menghajarnya.

"Yah... Hancur sudah semuanya!" kataku lemas.
Ku rasakan getaran bus yang dinyalakan mesinnya dan bertolaklah bus tersebut dari Kampung Rambutan menuju Pakupatan. meninggalkan kenangan yang tak kan pernah pudar.

Sabtu, 11 April 2009

DI UJUNG TOMBAK AKU BERDIRI

di ujung tombak aku berdiri
keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku
ragaku seolah kaku
sekali melangkah aku mati

di ujung tombak aku berdiri
lidahku beku tak mampu berucap
berjuta kata telah tersekap
sekali melangkah aku mati

Aa Ghun Al-Bantany

AKU MENYESAL

belah dadaku
patahkan rusukku
kuras darahku

agar kau dapat melihat noda
mencemari hatiku yang hitam pekat

terlalu banyak dosa
terlalu banyak nista
yang ku telan mentah-mentah

baca hatiku yang pekat ini
terukir rangkaian kata
: aku menyesal

Aa Ghun Al-BAntany

MAWAR DAN CINTA

indah
memikat
membutakan logika

namun perih
saat duri runcingnya menancap
mengalirkan sakit yang berkepanjangan

mawar
cinta
keindahannya dapat melukis sakit
bila tak pandai memetiknya

Aa Ghun Al-Bantany

TIKUS-TIKUS SERAKAH

kau kuars lumbung padi kami
demi keserakahan yang menggelayut di ekormu
demi kerakusan yang mengalir dalam darah hinamu

kau lihat!
negeri ni bertambah kurus
kian detik tangisnya makin pilu
mengiris hati yang semakin lara

dengarlah!
semesta akan mengutukmu
memanggangmu ke dasar jahannam

Aa Ghun Al-Bantany