Selasa, 08 Desember 2009

DUNIA YANG HILANG


Langit hitam tak sekelam biasanya. Angin terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Bintang semakin sinis menatapku. Aku semakin asaing di hadapan mereka. ini bukan duniaku. duniaku telah kubuang dengan keji beberapa tahun lalu, karena aku tak puas akan kodratku.

Banyak elemen masa berkoar bahwa orang sepertiku harus dilindugi, aku pun pernah mengatakannya pada kedua orang tuaaku saat aku lelah diceramahi oleh mereka. Masih jelas di telingaku yang merekaa ucapkan saat itu.

"Kalau kau manusia, kenapa kau tak menerima kodratmu sebagai manusia. dan kau diciptakan menjadi laki-laki. Kodratmu sebagai manusia adalah laki-laki. Kau sudah ingkar terhadap nikmat yang Allah berikan!", tegas Bapak.

"Kembalilah kepada kodratmu nak! ini bukan duniamu.", lanjut Ibu diiringi isak tangis. mungkin ia menyesal telah melahirkanku.

Aku tak mengindahkan perkataan yang mereka lontarkan. Aku tetap melangkah hendak meninggalkan rumah. Saat aku sampai di gawang pintu, Bapak berkata deengan penuh amarah, "Kalau kau keluar selangkah saja dari rumah ini dengan mengingkari kodratmu, jangan pernah kembali ke rumah ini sampai kau kembali menjadi dirimu seperti yang telah Allah amanahkan padamu sebagai seorang laki-laki."

"Baik. Aku tidak akan kembali ke rumah ini. Untuk apa aku satu atap dengan orang tua yang tidak memahami hak asasi manusia.", jawabku sinis.

Aku pun pergi meniggalkan rumah, melangkahkan kaku tak tentu arah. Aku tak ingat lagi tujuanku pergi dari rumah. Banyak pemuda yang mentertawakanku saat aku melintas di hadapan mereka. Bahkan, tak sedikit yang mengatakan "cewek jadi-jadian". Aku berpikir mengapa mereka tak menghargai pilihan hidupku? Aku juga manusia. Aku punya hak untuk memilih jalan hidupku.

***

Telah dua tahun aku hidup jauh dari orang tuaku. Aku tinggal di salon milik kawanku sesama waria yang berlokasi deekat deengan sebuah kompleks industri. Terkadang aku pun menjajakan cinta kepada sopir-sopir gila yang haus cinta dan tak memandang gender.

Namun, malam ini sunyi. Hanya kebencian alam yang aku rasakan. Mereka seperti mengisyaratkan kotoran yang bersemayam dalam diriku. Tak terasa air mata melintas di sela-sela pipiku. Aku merasa ada yang hilang daari hidupku. Sesuatu yang berharga.

Aku pergi meninggalkan pangkalan citaku, kemudian kembali ke salon menemui sahabatku Lussi, yang pada saat di kampung namanya adalah Tusi. Aku menceritakan kegalauan hatiku padanya dengan air mata yang terus mengalir. Seolah tak mau berhenti sebelum aku mendapatkan sesuatu yang hilang dari hidupku.

"Lus, aku merasa sakit akan hal ini. Aku merasa sesuatu yang berharga hilang dariku. Kenapa aku ini?"

"Sepertinya kau telah merasakan bahwa duniamu, dunia kita di masa lalu adalah sesuatu yang harus dicari dan diambil kembali."

"Apa itu?"

"Kau tahu jawabannya."

Lusi pergi meninggalkanku tanpa memperdulikan kegalauan hatiku. Aku merebahkan tubuh di atas tempat cream bath. Kutatap langit-langit yang putih polos seperti kain kafan. Air mata berhenti seketika saat aku memikirkan kain kafan, diganti dengan keringat dingin tang tak tentu arah alirannya. Aku merasa takut sekali.

"Kain kafan. Sebagai apa nanti aku kelak jika harus dibalut kain tersebut? Laki-laki atau perempuan?"

Aku merasa sebuah palu besar memukul kepalku, sakit sekali. Aliran darah bagai ombak di pantai, begitu deras dan berbenturan dengan tulang belulang, hingga menimbulkan lemas pada tubuhku.

Kuaalihkan pandanganku pada sebuah poster Britney Spears yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Aku Merasa sesuatu menggeliat dan mengganggu stabilitas jiwaku. Tak biasanya aku seperti ini. Walaupun aku pernah merasakannya, itupun saat aku masih berusia enam belas tahun, dan kini usiaku adalah dua puluh lima. Ya, sembilan tahun lalu.

***

"Aaaaaarrrgh!", aku berteriak sekuat tenaga hingga seluruh penghuni salon berdatangan menghampiriku.

"Ada apa?", tanya Lusi.

"Sesuatu menggeliat di tubuhku."

Semua terdiam. Keringat dingin terlihat membasahi tubuh mereka. Bahkan, Dion alias Dian jatuh tak sadarkan diri. Namun, mereka tak mempedulikannya. Mereka tetap terfokus ke arahku.

"Kau merasa tenang setelah itu terjadi?", tanya Lusi.

"Ya, tapi aku merasa tegang sekal.", jawabku.

"Kau telah menemukan jawabannya.", ujar Lusi.

"Apa mungkin aku harus kembali menjadi laki-laki?"

"Ya. Itulah duniamu, dunia kita semua yang hilang."

Lusi dan yang lainnya bertolak ke kamarnya masing-masing tanpa ada yang mengomandoi. Tinggal aku dan Dian yang masih berada di ruang praktik salon. Itupun tak bertahan lama. Aku pergi meninggalkan salon dan akan kembali ke rumah. Melatih diri unruk menemukan duniaku yang hilang.

***

"Mau apa kau kemari?", Tanya Bapak menyala-nyala.

"Aku ingin kembali kepada kodratku, Pak."

"Percuma. Ibumu telah menghadap sang pencipta kau baru kembali. Kau telah mempermalukan ibumu di hadapan-Nya."

"Apa? Ibu..."

"Ya. Puas kau sekarang? Asal kau tahu ibumu mati karena memikirkan kelakuanmu."

"Aku berjanji akan kembali kepada kodratku agar Ibu dan Bapak tidak malu di hadapan tuha."

Bapak tak menjawab. Ia memunggungiku. Mugkin tak sudi melihat aku yang masih memakai pakaian wanita dengan make up melumuri wajahku.

_SELESAI_