Kamis, 30 April 2009

cerpen: SAAT PUNAMA BERSEMBUNYI VERION II (versi revisi)


Langit berwarna hitam kelam, awan menyembunyikan rembulan yang harusnya menjadi purnama dan menitikkan hujan yang menebar hawa dingin. Namun, keringat dingin tak henti mengucur di sekujur tubuh Andra, Pak Suryo dan Bu Suryo. Mereka berbalut kecemasan saat memasangkan diri di atas bangku biru yang berjajar di depan sebuah ruangan dalam rumah bernuansa obat.
“Ibu takut, Yah” ujar Bu Suryo pada Pak Suryo dengan alunan tangis sendunya.
“Sabarlah, Bu. Kita berdo’a saja semoga operasinya berhasil” sambut Pak Suryo yang mencoba untuk menenangkan isterinya.
Pak Suryo memeluk Bu Suryo erat-erat, berharap agar beliau dapat menenangkan jiwa istereinya yang semakin rapuh. Sedangkan Andra hanya bisa termenung, hatinya berdiri di atas kecemasan yang tinggi. Kepalanya selalu ia tundukkan ke bawah dan mengucurkan keringat yang sesekali menetes ke lantai.
Detik jam terdengar jelas, teses air hujan yang menimpa atap pun demikian. Andra mulai mengangkat kepalanya, mengarahkan pandangan ke jarum jam.
“Sudah jam delapan Mbak Rini belum juga dating. Bukankah sudah tadi siang aku kabari. Kemana dia?” gerutu Andra dalam hati.
Andra sudah mulai gusar. Ia mengangkat kaki, melepas diri dari pangkuan bangku biru yang mengabdi untuk menunggu.
“Yah, BU! Aku menjemput Mbak Rini dulu ke rumahya. Sudah setengah jam Bang Rian di ruang operasi belumjuga dating. Apa kasih sayangnya pada Bang Rian sudah pudar?!” kata Andra kepada Pak Suryo isterinya berniat meminta izin untuk menjempur Rini, kekasih Rian.
“Ya sudah. Hati-hati, ya!” jawab Pak Suryo.
Pandangan Andra mengarah pada Bu Suryo mengartikan permohonan izinnya karena Bu Suryo hanya bisa menampakkan tangis tanpa kata. Bu Suryo mengangguk, Andra mengerti bahwa ibunya mengizinkannya pergi. Ia pun bergegas pergi meninggalkan rumh sakit dan menancap gas Blezer hitamnya menyusurui jalanan ibu kota yang licin terguyur hujan yang tak juga menandakan bahwa serangannya akan berhenti.
Rian menerjang aspal bagai angin. Lampu merah diterobosnya dan tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor terserempet olehnya.
“Dragh…!” suara benturan mobil Andra dan pengendara sepeda motor itu terdengar menggema dan terdengar oleh orang-orang disekitar perempatan jalan yang bergegas menyongsong tepat Andra menabrak pengendara sepeda motor. Sepeda motor yang ia serempet terkapar di tengah jalan dan pengendaranya menggelinding ke pinggir jalan.
“Sial!” ucap Andra sambil memkul stir mobilnya. Tiga orang berwajah api menggedor kaca mobilnya.
“Buka!” kata salah seorang dari mereka.
Andra membuka pintu mobilnya dan tinju melayang ke wajahnya hingga terlukis beberapa memar karya ketiga orang tersebut. Tepisan yang dilakuakan Andra sia-sia, karena tiga orang yang dihadapinya.
“Ampun! Ampun!” ucap andra, namun ketiga orang tersebut tak mempedulikan dan terus melayangkan pukulan ke sekujur tubuh Andra. Sedangkan lebih dari lima orang membantu korban yang terserempet oleh Andra. Untungnya pengendara sepeda motor tersebut tidak mengalami luka yang serius, hanya luka ringan pada siku dan lutut. Tapi, keadaan sepeda motornya yang mengalami rusak parah karena sempat terlindas oleh truk yang saat itu kebetulan melintas.
Andra tersungkur ke tanah, lututnya mengadu dengan aspal. Salah tau dari tiga orang yang memukulinya mengangkat Andra dengan meremas kerah bajunya dan bersiap melancangkan pukulan keras ke wajah Andra, namun korban yang terserempet oleh Andra menghentikannya.
“Hentikan!” kata pengendara sepeda moptor tersebut, kemudian menghampiri Andra yang sudah nampak lemas. Ia membangunkan Andra dan membawanya ke sebuah kios di pinggir jalan. Yang menyaksikan hal tyersebut hanya bisa terperangah tak percaya. Karena tak ada ekspresi kemarahan di raut wajah pengendara sepeda motor tersebut.
Mobil Andra dan motor yang remuk karena terserempet dan terlindas truk tersebut pun telah dipinggirkan karena membuat macet lalu lintas.
“Kenapa kau menerobos lampu merah?” tanya pengendara sepeda motor kepada Andra sambil memberinya air mineral.
“Aku sedang buru-buru hendak menjemput kekasih kakakku karena kakakku sedang operasi sekarang” jawab Andra yang menitikkan air mata. Bukan karena rasa sakitnya, namun karena ketakutannya kehilangan kakakknya yang sedang berjuang di ruang operasi.
“Oh, sekarang dimana rumah kekasih kakakmu itu?”
Andra menjelaskan alamat Rini secara rinci kepada pengendara motor yang ia tabrak tersebut.
“Baiklah kalau begitu. Siapa namamu?”
“Andra. Nama Bapak?”
“Saya Aji. Sekarang kau tunggalkan tempat ini dan jemput kekasih kakakmu itu sebelum semuanya terlambat!”
Andra sempat terbegong karena Pak Aji yang seharusnya menuntut ganti rugi malah menyuruhnya pergi. Tapi, Andra tidak mau lepas tanggung jawab. Ia menyerahkan kunci mobilnya untuk jaminan sebelum ia mengganti rugi kepada Pak Ajin namun Pak Aji menolaknya.
“Sudah, bawa saja mobilmu!”
“Tapi, Pak…”
“Sudah bawa saja!”
“Tapi saya tidak mau lepas tanggung jawab”
“Kakakku lebih membutuhkan ketepatan waktumu. Jadi, bawalah mobilmu untuk mengejar waktu yang sempat terbuang tadi.
“Tapi…”
“Aku pernah mengalami apa yang kau alami saat ini”
Andra terperangah mendengar kata-kata Pak Aji. Ia tak menyangka bahwa orang di hadapannya pernah mengalami hal yang ia alami kini.
“Heh, kenapa bengong?” tanya Pak Aji mengagetkan Andra.
Andra tersadar dan tiba-tiba menyeret Pak Aji masuk ke mobilnya yang langsung melesat tanpa kata selamat tinggal kepada orang-orang yang sejak tadi menyaksikan drama yang mereka anggap aneh dari Andra dan Pak Aji.
Jalanan aspal terus diterpa oleh Blezer hitam yang body-nya kempt akibat menyerempet motor Pak Aji sebelumnya.
Andra mengatakan sesuatu pada Pak Aji, “Aku…”, belum selesai Andra bicara, Pak Aji sudah menyela, “Aku mengerti maksudmu. Fokuslah ke jalanan, jangan sampai hal tadi terulang kembali!”
Menempuh waktu perjalanan sekitar sepuluh menit sampailah Bezer hitam tersebut di depan rumah Rini. Andra meninggalkan Pak Aji di dalam mobil dan langsung mengetuk pintu.
“kreeek…” pintu dika dan keluarlah Rini dengan baju hangat dan muka heran melihat Andra yang dating malam-malam ke rumahnya, apalagi malam tengah berbalut hujan.
“Andra, ada apa malam-malam begini kamu ke rumah Mbak? Hujan lagi” tanya Rini.
“Ada apa, ada apa! Mbak kan sudah ku kirim SMS bahwa hari ini Bang Rian operasi. Lalu kenapa Mbak tidak datang” jawab Andra dengan nada di atas ubun-ubun.
“Andra, kau lupa ya. HP Mbak kan hilang” balas Rini dengan nada jauh di bawah nada bicara Andra.
Andra menepukkan tangan ke dahinya dan, “Astaghfirullah! Aku lupa” katanya.
“Ya sudah, kita ke rumah sakit sekarang!” seru Rini.
Rini mengunci pintu dan segera mengajak Andra ke rumah sakit tanpa mengganti bajunya. Saat masuk mobil ia kaget melihat Pak Aji.
“Saya Aji. Kau Rini kan?!”
Rini hanya diam terperangah, namun Pak Aji mengobati keheranannya dengan bercerita apa yang terjadi sebelum Andra ke rumahnya. Maka, terobatilah keheranan Rini.
Hujan belum juga menghentikan mengirimkan pasukan rintik air ke bumi yang makin hari makin gersang.
Roda terus menggilan aspal, hingga akhirnya sampai di rumah sakit setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit.
Ponsel Andra berdering. Rupanya Pak Suryo mengabari bahwa operasi Rian berhasil dan kini ia dipindahkan ke ruang ICU. Raut kegembiraan terpancar dari wajah-wajah yang semula cumas selama perjalanan menuju rumah sakit.
Mereka langsung menuju ruang ICU dan menemui Bapak dan Ibu Suryo di depan ruangan tersebut.Melihat Rini Pak Suryo tak mampu membendung emosinya dan langsung meluapkan amarahnya pada Rini.
“Kemana saja kau? Rian disini berjuang melawan maut dan kau tidak ada di sisinya. Dimana kasih sayangmu? Dimana hatimu?”
“Maaf, Om. Aku tidak tahu bahwa Rian sedang operasi”
“Bukankah Andra sudah mengabarimu?”
“Ya, tapi bagaimana kabar itui bisa sampai kepadaku, sedangkan HP-ku saja hilang, Om. Om lupa?”
Rini mengucurkan air mata. Di hatinya bercampur rasa bersalah, kecewa dan takut kehilangan.
Pak Aji tiba-tiba angkat bicara, “Sudahlah! Ini rumah sakit, tidak baik ribut-ribut.”
“Anda siapa?” tanya Bu Suryo.
“Saya Aji. Saya…”
“Pak Aji korbanku, Bu. Beliau terserempet saat aku menerobos lampu merah ketika perjalanan ke rumah Mbak Rini. Aku membawanya kesini untuk mengganti keruguannya” sela Andra.
“Sudahlah! Tidak usah” timpal Pak Aji.
“Tapi sepeda motor Bapak hancur” lanjut Andra.
“Sepeda motorku hancur bukan karena kau, tapi karena truk yang menggilasnya. Jadi, kau tidak perlu mengganti kerugianku”
“Tapi itu gara-gara mobilku menyerempet sepeda motor Bapak”
Pak Aji melangkah meninggalkan keluarga Pak Suryo, namun dicegah oleh Pak Suryo.
“Tunggu, Pak! Kami akan ganti kerugianmu” kata pak Suryo.
“Tidak usah. Kalian sedang tertimpa musibah dan aku tidak sehartusnya menambah beban kalian. Selamat tinggal!”
“Tinggu, Pak! Pak”
Pak Aji terus melangkahkan kaki meninggalkan Pak Suryo dan keluarganya hingga hilang di balik koridor.
Setelah perhatian kepada Pak Aji reda, Rini meminta izin untuk melihat keadaan Rian. Setelah diizinkan Rinipun masuk ke ruang ICU dan mendapati Andra telah siuman. Rini memanggil
Bapak dan Ibu Suryo serta Andra untuk masuk dan melihat keadaan Rian yang telah siuman.
“Mukjizat” ucap Pak Suryo.
Rini mendekat dan memeluk tangan Rian. “Maafkan aku tak datang saat kau operasi” katanya.
Rian mengangguk dan berkata, “Aku ingin bicara pada kalian semua”
“Kau hendak bicara apa, Nak?” tanya Bu Suryo.
“Ayah, Ibu! Aku ingin mengucapkan terimakasih atas kasih saying yang kalian berikan. Aku juga minta maaf jika aku hanya menyusahkan kalian saja. Andra, kau lanjutkan perjuanganmu untuk menembus dapur rekaman. Kejar terus mimpimu! Rini, aku mencintaimu hingga akhir waktuku”.
“Aku juga mencintaimu” jawab Rini.
Rian membelai pipi halus Rini yang dilalui air mata, kemudian mencium tangan kedua orang tuanya dan terakhir menggenggam tangan Andra untuk mengalirkan api semangat di jiwaadiknya tersebut.
“Selamat tinggal!” kata rian kemudian matanya terpejam.
“Rian?” refleks Bu Suryo yang kaget melihat anaknya terpejam lagi. Pak Suryo memanggil dokter dan saat tiba di ruangan Rian, dokter langsung bertindak. Namun, hasilnya bihil.
“Rian telah pergi” kata dokter lemas.
Tangis meledak ketika dokter berkata bahwa Rian telah pergi meninggalkan dunia. Mereka tak petcaya ini terjadi karena Rian menyentuk mereka sebelumnya dan kini ia telah tiada.
Belaian, genggaman dan ciuman tangannya terhadap orang-orang yang ia sayangi ternyata sebuah tanda perpisajhan yang disaksikan oleh malam hujan yang menyembunyikan purnama. Hujan itu ada;ah utusan tuhan untuk membasahi tanah sebagai persemayaman terakhir nagi Rian.

Sabtu, 25 April 2009

cerpen: HATI DI DUA KOTA (untuk sahabat-sahabatku yang long distance love)


Banjar, Jawa Barat. Kota yang membesarkanku dari mulai membuka kehidupan hingga kini. Tuhan mentakdirkan aku sebagai pasangan dari kaum adam, trelahir dari rahim seorang yang kini ku panggil ibu, hasil pemersatuan benih dengan suaminya yang ku panggil ayah. Mereka menulis nama Ratna Pratiwi dalam kehidupanku.

Kini masa itu telah terlewatkan, aku tengah berjuang di bangku SMA kini. Yah, masa puberku sudah pasti hinggap dalam diriku. Aku mulai mengagumi kaum adam, hingga aku dipersatukan dengan seorang bernama Ardi. Namun, hubungan kami harus trpisah oleh jarah yang menghalangi raga kami. Tapi, hatiku tak pernah melepas genggaman dari hati Ardi. Ardi telah mneumpahkan kepercayaannya di lentera kalbuku, hingga aku tak dihinggapi rasa curiga sedikitpun. Demikian pula aku, ku tanamkan kepercayaan di kebun cintanya.

Ku lepas Ardi di Ibu Kota Povinsi Jawa Barat karena ia tak mungkin meninggalkan kota itu. Keluarga dan penidikannya disana dan aku sebaliknya, keluarga dan pendidikanku disini. Kami bias bertemu kare saat itu ia sedang berlibur di kampungku dan peri cinta meemanahkan mata panahnya kea rah kami.

Namun, kepercayaanku dipatahkan oleh Ardi. Aku mendapatkan pengakuan dari mulutnya sendiri saat ia menghubungiku lewat udara.

“Ratna, aku sedang dekat dengan seorang gadis disini” kata Ardi bernada lurus.

“Apa? Kau kan punya aku, kenapa masih saja kau dekati gadis lain?”

“Aku dan dia hanya bersahabat, Na”

“Bersahabat? Kalau dia jadi mencintaimu bagaimana atau kau yang malah akan mencintainya?”

“Tenang saja! Aku tidak akan mengkhianati cinta kita”

“Ah, Bullshit!”

Ku putuskan sambungan teleponku dengannya. Aku menangis tersedu-sedu. Aku bingung, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bias membuang-buang air mataku dalam kekecewaan.

Ku ingin mencurahkan keadaanku pada seseorang, tapi tak ada yang mau medengarkan aku. Aku pun teringat sahabatku yang bernama Amir yang berdomisili di provinsi tetangga Jakarta, provinsi yang terkenal dengan jawara-jawaranya dan keseniannya yang sangat terkenal, yaitu debus.

Ku telepon sahabatku itu dan untunglah dia mau mendengarkan curahan hatiku. Bahkan dia memberikan saran dan mampu membuatku tersenyum dan tertawa lagi.

“Mir, kekasihku berkhianat, Mir”

“Ah, yang benar?”

“Benar. Ku dengar sendiri dari mulutnya”

“Coba ceritakan”

Ku ceritakan hal itu pada sahabat jauhku itu dan ia menanggapi dengan kalimat, “Na, mungkin saja mereka benar-benar bersahabat. Jangan kamu merasa curiga pada kekasihmu”.

Dari situ aku mulai meluruhkan rasa curiga dan cemburuku. Aku menjaga kepercayaanku pada Ardi. Aku tak mau hubungan kami berantakan hanya karena rasa curiga dan cemburu.

Minggu, 19 April 2009

cerpen: MELANGKAH DI ATAS KETIDAKPASTIAN


Dion namaku, aku suka melakukan hal-hal yang berbau petualangan. Aku tidak suka diganggu dan aku mempunyai prinsip wajib menepati janji. Rambutku hitam, mataku berukuran sedang dan berlensa cokelat, kulitku sawo matang, tinggi badanku 170 cm.

Aku mempunyai janji pada seorang yang pernah singgah di hatiku dan sekarang telah pergi jauh meninggalkan aku demi lelaki lain yang menggodanya. Sakit memang, namu aku harus tetap menepati janjiku, karena aku mempunyai prinsip bahwa janji adalah janji dan harus ditepati.
Langit masih terlihat agak gelap karena langit masih mengintip-intip dunia. Aku berdiri di pinggir jalan dengan menggendong tas berisi sebuah kado di pungungku. Hatiku berdebar dan rasa psimis menggelayut di pundakku. Namun aroma cinta mampu membuatku lupa akan psimisku.

Ku tumpangi angkutan kota yang berhenti di hadapanku. Dengan kecepatan di atas 60 kilometer per jam kuda beri itu memutar keempat kakinya menuju tempat dimana seluruh angkutan dari berbagai jenis berkumpul untuk berburu penumpang. Setelah membayar retribusi, nagkutan kota yang ku tumpangi masuk dan berhenti dan berbaris dengan angkutan yang sejenis dengannya. Akupun turun dan membayar okngkos kepada sopir yang memasang wajah penuh pengharapan atas rezeki yang tuhan merikan mealui penumpangnya, termasuk aku.

Disinilah aku memulai perjalananku. Langkah pertama ku seret ke arah sebuah bus yang bertrayek Kampung Rambutan-merak.

“Rambutan…. Rambutan…. Rambutan….” Teriak kondektur bus tersebut.

Aku melangkah menuju pintu bus itu dan kondektur bus membuka pintu untuk mempersilakan aku naik. Kemudian aku berada di ruangan penuh kursi penumpang, berhawa dingin dan terpampang televisi di depan. Aku duduk dan menikmati kenyamanan fasilitas yang deberikan. Setelah penuh, bus bergerak dan melaju cepat memalu jalan tol ke arah Jakarta.

Sepanjang perjalanan pikiranku melayang dan cemas. Aku bergumam dalam hati, “Apakah aku akan dapat bertemu dengan Novi, sedangkan aku tak pernah debri tahu dimana letak rumahnya. Aku hanya tahu arahnya saja dan kandas di sebuah gang sempit sebelah apotek”. Pikiran tersebut terus menggelayutiku sepanjang perjalanan.

Sekitar satu setengah jam aku di dalam bus, akhirnya aku sampai di Terminal Kampung Rambutan yang terletak di Jakarta bagian timur. Ku hirup udara bebas dar kurasakan resapan matahari yang sudah menampakkan sinaran dan hangatnya. Aku menyeret langkah ke sebuah kios dan membeli sebungkus rokok.

“Pak, rokok sebungkus!” pintaku dan pemilik kios memberikan sebungkus rokok yang berasa menthol padaku.

“Sekalian korek apinya, Pak!” pintaku lagi, pemilik kios itu memberiku korek api batangan.

“Maaf, yang gas saja, Pak!” seruku.

“Oh, maaf! Yang gasnya habis” jawab pemilik kios.

Aku mamandang beberapa korek api gas yang terjejer di etalase kios. Pemilik kios itu mengerti
apa maksudku dan ia berkata, “Oh, yang itu rusak. Maaf ya anak muda!”

Yah, akhirnya ku beli rokok beserta korek api batangan yang terkadang membuatku kesulitan untuk mengasilkan api. Ku sulut dank u hisap rokok yang kubeli untuk menemaniku mencari angkutan kota bernomor 03 jurusan Cililitan.

Ku teropong sudut-sudut Terminal Kampung Rambutan, mencari angkutan kota yang bernomor 03. Akhirnya ku temukan angkutan kota bernomor 03 dan kuhampiri mobil tersebut.

“Pak, Litan?” tanyaku pada sopir yang sudah renta.

“Ya” jawabnya.

Aku duduk di muka, samping Pak Sopir renta yang berburu penumpang. Wajahnya melukiskan kecemasan karena sedikit penumpang yang dapat ia jaring.

Melintas Jalan Baru, lalu Pasar Rebo, Taman Mini Indonesia Indah, terus lurus hingga tiba di Kecamatan Kramat Jati. Disinilah Cililitan terletak. Aku turun di depan sebuah apotek dan memasuki gang kesil di sebelahnya. Aku menembus gang dan melintasi jembatan kecil. Sampai di seberang jembatan aku mulai bingung dan resah.

“Aduh, dimana rumah Novi?” Tanya ku dalam hati.

Ku teropong sekitar komplek tersebut dan ku lihat seorang wanita setengah baya. Ku panggil wanita tersebut dan bertanya, “Bu, tahu rumahnya Novi?”

“Novi mana?” wanita itu balik bertanya.

“Novi yang sekolah di SMK Budhi Warman kelas dua Akuntansi” jawabku.

“Aduh, tidak tahu. Coba kamu tanya pada yang lain mungkin tahu” katanya.

Aku mencari orang lain yang bisa ku tanyai soal tempat tinggal Novi dan ku lihat seorang gadis kira-kira 19 tahun, kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “Maaf, Mbak! Tahu rumahnya Novi tidak?”.

“Novi mana ya?” .

“Novi yang sekolah di SMK Budhi Warman kelas dua Akuntansi”.

“Aduh, tahu juga Novi yang sudah keluar dan akan menikah”.
"Aduh! Bagaimana ini?" gumamku.

"Memangnya RT mana?"

"Saya lupa, Mbak" jawabku beralasan palsu.

"Kamu telepon saja!"

"Nomornya tidak aktif, Mbak".

"Aduh! susah juga kalau begitu".
"Ya sudah. Terima kasih, Mbak!"

"Ya, sama-sama".

Wanita yang lebih tua 2 tahun dariku itu pamit untuk melanjutkan langkahnya yang sempat ku halangi. Aku mengambil napas besar untuk mengumpulkan kembali semangatku dan membuang jauh-jauh keputus asaanku. Ku seret lagi langkahku menyusuri komplek yang padat dan luas dengan keringat yang semakin membanjiri tubuhku.

Setiap orang yang ku temua kutanyai dimana rumah Novi, tapi tak ada satupun yang mengetahuinya. Hingga tenggorokanku tandus tak ku temukan juga rumah bidadari yang telah meninggalkan aku itu. Untuk menyiram tenggorokanku, aku membeli segelan air mineral dingin d sebuag warung. Sambil menyelam minum air, ku tanya alamat Novi pada pemilik warung tersebut.

"Maaf, Pak! Bapak tahu dimana rumahnya Novi?"

"Oh, yang pakai jilbab?"
"Ya, betul!"

"Yang akan menikah?"

"Menikah? Bukan, Pak. Dia masih SMK kelas dua. Dia sekolah di SMK Budhi Warman, Pak".

"Aduh! Maaf saya tidak tahu!"

"Oh, terima kasih, Pak!"

Aku pergi maninggalkan warung tersebut dan melanjutkan penelusuranku. Tulang terasa hampir patah, kulit mulai terbalut daebu, mataku mulai merabun. Rumah Novi tak juga ku temukan.

Bagaimana aku tidak was-was? Aku datang membawa janji. Aku takut bila tak ku tepati janjiku, aku bisa celaka nanti di alam baqa. Matahari telah berada di ubun-ubunku, suara adzan berkumandang. Akupun sholat dan memanjatkan do'a yang disertai nazar kepada Allah. Aku bernazar bahwa bila aku dapat menemukan alamat Novi, Aku akan berpuasa keesokan harnya. Namun, do'aku belum didengar rupanya oleh Tuhanku itu.
Akupun pulang dengan langkah kecewa, berusaha menghapus getir yang mengerumuni jiwaku. Tanpa permisi pada angi ku tinggalkan Cililitan dan bergerak ke gerbang antar kota. Ku naiki sebuah bus kota. Belum semenit aku merebahkan diri di atas kursi penumpang, seorang pedagang jam tangan menghampiriku dan menawarkan barang dagangannya.

"Mas, jamnya, Mas!" kata pedagang jam itu padaku.

"Maaf! Saya tidak tertarik" jawabku.

"Cobalah dulu. Saya kasih harga spesial untuk Mas".

"Tidak, Mas. Terima kash!".

"Tawar-tawarlah dulu" kata penjual tersebut yang terkesan memaksa.

"Tidak!"

"Tawar dulu lah, jangan bilang tidak dulu!"

Aku mulai geram dan berkata, "Memangnya berapa harganya?"

"Tujuh puluh lima ribu, Mas".

"Hah?! Saya tawar dua puluh lima ribu"

"Yang benar saja! Saya belanja tidak segitu".

"Ya sudah saya tidak beli".

"Ya sudah dua puluh lima ribu".

"Saya bilang tidak jadi beli" kataku dengan nada yang memuncak karena darahkupun telah berada di ubu-ubun.

"Apa-apan ini? Menawar tapi tidak membeli" kata penjual jam tersebut ketus.

Aku bertambah marah dan berkata dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya, " Bukankah saya sudah bilang tidak ingin beli dari awal, mengapa Mas masih memaksa? Anda mau berdagang atau memeras?"

Penjual jam tersebut mengepalkan tangan dan bersiap meninjuku, namun ku tangkis dan ku beri tendangan di perutnya, lalu ku layangkan bogem mentah ke rahangnya. Dengan penuh amarah, ku tendang keluar bus. Dengan demikian, pahamlah dia bahwa aku orang Banten.

"Pergi kau! Membuatku semakin pusing saja!" bentakku seraya menunjuk matanya.

Tak ku sadari, kado ulang tahun dalam tasku yang tak sampai ke tangan Novi rusak karena terinjak-injak dan tertindih penjual jam tersebut saat aku menghajarnya.

"Yah... Hancur sudah semuanya!" kataku lemas.
Ku rasakan getaran bus yang dinyalakan mesinnya dan bertolaklah bus tersebut dari Kampung Rambutan menuju Pakupatan. meninggalkan kenangan yang tak kan pernah pudar.

Sabtu, 11 April 2009

DI UJUNG TOMBAK AKU BERDIRI

di ujung tombak aku berdiri
keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku
ragaku seolah kaku
sekali melangkah aku mati

di ujung tombak aku berdiri
lidahku beku tak mampu berucap
berjuta kata telah tersekap
sekali melangkah aku mati

Aa Ghun Al-Bantany

AKU MENYESAL

belah dadaku
patahkan rusukku
kuras darahku

agar kau dapat melihat noda
mencemari hatiku yang hitam pekat

terlalu banyak dosa
terlalu banyak nista
yang ku telan mentah-mentah

baca hatiku yang pekat ini
terukir rangkaian kata
: aku menyesal

Aa Ghun Al-BAntany

MAWAR DAN CINTA

indah
memikat
membutakan logika

namun perih
saat duri runcingnya menancap
mengalirkan sakit yang berkepanjangan

mawar
cinta
keindahannya dapat melukis sakit
bila tak pandai memetiknya

Aa Ghun Al-Bantany

TIKUS-TIKUS SERAKAH

kau kuars lumbung padi kami
demi keserakahan yang menggelayut di ekormu
demi kerakusan yang mengalir dalam darah hinamu

kau lihat!
negeri ni bertambah kurus
kian detik tangisnya makin pilu
mengiris hati yang semakin lara

dengarlah!
semesta akan mengutukmu
memanggangmu ke dasar jahannam

Aa Ghun Al-Bantany

JELANGKUNG

saat gerimis menderai
membasahi bumi yang kian menua

kerinduan membelenggu jiwaku
kegelisahan datang mendera

ingin aku jumpa denganmu
menepis rindu yang semakin berkarat

ingin ku belai wajahmu
merasakan halus sutera tubuhmu

datanglah! datanglah!
bagai jelangkung

tanpa ku jemput kau datang
tanpa ku antar kau pulang
karena sungguh ku tak punya uang
untuk ongkos cinta kita sayang

Aa Ghun Al-Bantany

MAAFKAN KAMI BUMI

limpahan kebaikanmu telah ku telan
menymbat rakusnya perut-perut ini
rasa tak pernah puas telah merusak ragamu

namun kami sungguh picik
tak pernah mau berterimakasih

puing demi puing indahmu dipereteli
langit beningmu telah kami butakan
suci airmu tercelar sisa-sisa dahaga nafsu
pperu-perut buncit inilah perusaknya

maafkan kami bumi
jangan kau tumpahkan amarahmu
jangan kau lumatkan jiwa-jiwa pengecut ini

Aa_Ghun Al-Bantany

Sabtu, 04 April 2009

APA SIH TELEVISI ITU?

Kita tentu tidak asing lagi dengan yang namanya televisi yang biasa kita sebut TV, teve atau lebih gokil lagi disebut tipi. Tapi, tahukah apa arti televisi tersebut? Ayo kita kupas!

Secara bahasa televisi berasal dari kata tele yang berarti jauh dan vision yang berarti melihat, jadi kalau digabung jadi melihat jauh atau melihat jarak jauh. Ya, pengertian tersebut 99,9% benar. Karena, dengan televisi kita bisa melihat objek yang jauh seolah-olah ada di hadapan kita. Namu, 0,1% salah. Karena, televisi adalah alat untuk membuat objek yang jauh agar terlihat lebih dekat dengan kita dengan bantuan elektromagnetik, cahaya dan satelit. Jadi mengapa namanya tidah “litoolvisitele” saja? Jawabnya tidak pantas. Selain kepanjangan, litoolvisitel juga tidak enak didengar maupun diucapkan oleh lidah kita. Jadi, namanya tetap televisi.

Secara istilah, televisi berarti media informasi berupa audio visual yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakan secara lebih detail dibandingkan media cetak ataupun radio. Jaringan televise adalah yang paling luas setelah nternet.

Banyak orang menyebut televise sebagai kotak ajaib. Tapi, tetap yang palin ajaib adalah internet dan yang maha ajaib adalah tuhan semesta alam.