Minggu, 19 April 2009

cerpen: MELANGKAH DI ATAS KETIDAKPASTIAN


Dion namaku, aku suka melakukan hal-hal yang berbau petualangan. Aku tidak suka diganggu dan aku mempunyai prinsip wajib menepati janji. Rambutku hitam, mataku berukuran sedang dan berlensa cokelat, kulitku sawo matang, tinggi badanku 170 cm.

Aku mempunyai janji pada seorang yang pernah singgah di hatiku dan sekarang telah pergi jauh meninggalkan aku demi lelaki lain yang menggodanya. Sakit memang, namu aku harus tetap menepati janjiku, karena aku mempunyai prinsip bahwa janji adalah janji dan harus ditepati.
Langit masih terlihat agak gelap karena langit masih mengintip-intip dunia. Aku berdiri di pinggir jalan dengan menggendong tas berisi sebuah kado di pungungku. Hatiku berdebar dan rasa psimis menggelayut di pundakku. Namun aroma cinta mampu membuatku lupa akan psimisku.

Ku tumpangi angkutan kota yang berhenti di hadapanku. Dengan kecepatan di atas 60 kilometer per jam kuda beri itu memutar keempat kakinya menuju tempat dimana seluruh angkutan dari berbagai jenis berkumpul untuk berburu penumpang. Setelah membayar retribusi, nagkutan kota yang ku tumpangi masuk dan berhenti dan berbaris dengan angkutan yang sejenis dengannya. Akupun turun dan membayar okngkos kepada sopir yang memasang wajah penuh pengharapan atas rezeki yang tuhan merikan mealui penumpangnya, termasuk aku.

Disinilah aku memulai perjalananku. Langkah pertama ku seret ke arah sebuah bus yang bertrayek Kampung Rambutan-merak.

“Rambutan…. Rambutan…. Rambutan….” Teriak kondektur bus tersebut.

Aku melangkah menuju pintu bus itu dan kondektur bus membuka pintu untuk mempersilakan aku naik. Kemudian aku berada di ruangan penuh kursi penumpang, berhawa dingin dan terpampang televisi di depan. Aku duduk dan menikmati kenyamanan fasilitas yang deberikan. Setelah penuh, bus bergerak dan melaju cepat memalu jalan tol ke arah Jakarta.

Sepanjang perjalanan pikiranku melayang dan cemas. Aku bergumam dalam hati, “Apakah aku akan dapat bertemu dengan Novi, sedangkan aku tak pernah debri tahu dimana letak rumahnya. Aku hanya tahu arahnya saja dan kandas di sebuah gang sempit sebelah apotek”. Pikiran tersebut terus menggelayutiku sepanjang perjalanan.

Sekitar satu setengah jam aku di dalam bus, akhirnya aku sampai di Terminal Kampung Rambutan yang terletak di Jakarta bagian timur. Ku hirup udara bebas dar kurasakan resapan matahari yang sudah menampakkan sinaran dan hangatnya. Aku menyeret langkah ke sebuah kios dan membeli sebungkus rokok.

“Pak, rokok sebungkus!” pintaku dan pemilik kios memberikan sebungkus rokok yang berasa menthol padaku.

“Sekalian korek apinya, Pak!” pintaku lagi, pemilik kios itu memberiku korek api batangan.

“Maaf, yang gas saja, Pak!” seruku.

“Oh, maaf! Yang gasnya habis” jawab pemilik kios.

Aku mamandang beberapa korek api gas yang terjejer di etalase kios. Pemilik kios itu mengerti
apa maksudku dan ia berkata, “Oh, yang itu rusak. Maaf ya anak muda!”

Yah, akhirnya ku beli rokok beserta korek api batangan yang terkadang membuatku kesulitan untuk mengasilkan api. Ku sulut dank u hisap rokok yang kubeli untuk menemaniku mencari angkutan kota bernomor 03 jurusan Cililitan.

Ku teropong sudut-sudut Terminal Kampung Rambutan, mencari angkutan kota yang bernomor 03. Akhirnya ku temukan angkutan kota bernomor 03 dan kuhampiri mobil tersebut.

“Pak, Litan?” tanyaku pada sopir yang sudah renta.

“Ya” jawabnya.

Aku duduk di muka, samping Pak Sopir renta yang berburu penumpang. Wajahnya melukiskan kecemasan karena sedikit penumpang yang dapat ia jaring.

Melintas Jalan Baru, lalu Pasar Rebo, Taman Mini Indonesia Indah, terus lurus hingga tiba di Kecamatan Kramat Jati. Disinilah Cililitan terletak. Aku turun di depan sebuah apotek dan memasuki gang kesil di sebelahnya. Aku menembus gang dan melintasi jembatan kecil. Sampai di seberang jembatan aku mulai bingung dan resah.

“Aduh, dimana rumah Novi?” Tanya ku dalam hati.

Ku teropong sekitar komplek tersebut dan ku lihat seorang wanita setengah baya. Ku panggil wanita tersebut dan bertanya, “Bu, tahu rumahnya Novi?”

“Novi mana?” wanita itu balik bertanya.

“Novi yang sekolah di SMK Budhi Warman kelas dua Akuntansi” jawabku.

“Aduh, tidak tahu. Coba kamu tanya pada yang lain mungkin tahu” katanya.

Aku mencari orang lain yang bisa ku tanyai soal tempat tinggal Novi dan ku lihat seorang gadis kira-kira 19 tahun, kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “Maaf, Mbak! Tahu rumahnya Novi tidak?”.

“Novi mana ya?” .

“Novi yang sekolah di SMK Budhi Warman kelas dua Akuntansi”.

“Aduh, tahu juga Novi yang sudah keluar dan akan menikah”.
"Aduh! Bagaimana ini?" gumamku.

"Memangnya RT mana?"

"Saya lupa, Mbak" jawabku beralasan palsu.

"Kamu telepon saja!"

"Nomornya tidak aktif, Mbak".

"Aduh! susah juga kalau begitu".
"Ya sudah. Terima kasih, Mbak!"

"Ya, sama-sama".

Wanita yang lebih tua 2 tahun dariku itu pamit untuk melanjutkan langkahnya yang sempat ku halangi. Aku mengambil napas besar untuk mengumpulkan kembali semangatku dan membuang jauh-jauh keputus asaanku. Ku seret lagi langkahku menyusuri komplek yang padat dan luas dengan keringat yang semakin membanjiri tubuhku.

Setiap orang yang ku temua kutanyai dimana rumah Novi, tapi tak ada satupun yang mengetahuinya. Hingga tenggorokanku tandus tak ku temukan juga rumah bidadari yang telah meninggalkan aku itu. Untuk menyiram tenggorokanku, aku membeli segelan air mineral dingin d sebuag warung. Sambil menyelam minum air, ku tanya alamat Novi pada pemilik warung tersebut.

"Maaf, Pak! Bapak tahu dimana rumahnya Novi?"

"Oh, yang pakai jilbab?"
"Ya, betul!"

"Yang akan menikah?"

"Menikah? Bukan, Pak. Dia masih SMK kelas dua. Dia sekolah di SMK Budhi Warman, Pak".

"Aduh! Maaf saya tidak tahu!"

"Oh, terima kasih, Pak!"

Aku pergi maninggalkan warung tersebut dan melanjutkan penelusuranku. Tulang terasa hampir patah, kulit mulai terbalut daebu, mataku mulai merabun. Rumah Novi tak juga ku temukan.

Bagaimana aku tidak was-was? Aku datang membawa janji. Aku takut bila tak ku tepati janjiku, aku bisa celaka nanti di alam baqa. Matahari telah berada di ubun-ubunku, suara adzan berkumandang. Akupun sholat dan memanjatkan do'a yang disertai nazar kepada Allah. Aku bernazar bahwa bila aku dapat menemukan alamat Novi, Aku akan berpuasa keesokan harnya. Namun, do'aku belum didengar rupanya oleh Tuhanku itu.
Akupun pulang dengan langkah kecewa, berusaha menghapus getir yang mengerumuni jiwaku. Tanpa permisi pada angi ku tinggalkan Cililitan dan bergerak ke gerbang antar kota. Ku naiki sebuah bus kota. Belum semenit aku merebahkan diri di atas kursi penumpang, seorang pedagang jam tangan menghampiriku dan menawarkan barang dagangannya.

"Mas, jamnya, Mas!" kata pedagang jam itu padaku.

"Maaf! Saya tidak tertarik" jawabku.

"Cobalah dulu. Saya kasih harga spesial untuk Mas".

"Tidak, Mas. Terima kash!".

"Tawar-tawarlah dulu" kata penjual tersebut yang terkesan memaksa.

"Tidak!"

"Tawar dulu lah, jangan bilang tidak dulu!"

Aku mulai geram dan berkata, "Memangnya berapa harganya?"

"Tujuh puluh lima ribu, Mas".

"Hah?! Saya tawar dua puluh lima ribu"

"Yang benar saja! Saya belanja tidak segitu".

"Ya sudah saya tidak beli".

"Ya sudah dua puluh lima ribu".

"Saya bilang tidak jadi beli" kataku dengan nada yang memuncak karena darahkupun telah berada di ubu-ubun.

"Apa-apan ini? Menawar tapi tidak membeli" kata penjual jam tersebut ketus.

Aku bertambah marah dan berkata dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya, " Bukankah saya sudah bilang tidak ingin beli dari awal, mengapa Mas masih memaksa? Anda mau berdagang atau memeras?"

Penjual jam tersebut mengepalkan tangan dan bersiap meninjuku, namun ku tangkis dan ku beri tendangan di perutnya, lalu ku layangkan bogem mentah ke rahangnya. Dengan penuh amarah, ku tendang keluar bus. Dengan demikian, pahamlah dia bahwa aku orang Banten.

"Pergi kau! Membuatku semakin pusing saja!" bentakku seraya menunjuk matanya.

Tak ku sadari, kado ulang tahun dalam tasku yang tak sampai ke tangan Novi rusak karena terinjak-injak dan tertindih penjual jam tersebut saat aku menghajarnya.

"Yah... Hancur sudah semuanya!" kataku lemas.
Ku rasakan getaran bus yang dinyalakan mesinnya dan bertolaklah bus tersebut dari Kampung Rambutan menuju Pakupatan. meninggalkan kenangan yang tak kan pernah pudar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTARI SETIAP POSTING YANG SAYA TULIS.....

JANGAN LUPA KOMENTARI SEMUA YANG ADA DI NEGARA KITA....