Kamis, 30 April 2009

cerpen: SAAT PUNAMA BERSEMBUNYI VERION II (versi revisi)


Langit berwarna hitam kelam, awan menyembunyikan rembulan yang harusnya menjadi purnama dan menitikkan hujan yang menebar hawa dingin. Namun, keringat dingin tak henti mengucur di sekujur tubuh Andra, Pak Suryo dan Bu Suryo. Mereka berbalut kecemasan saat memasangkan diri di atas bangku biru yang berjajar di depan sebuah ruangan dalam rumah bernuansa obat.
“Ibu takut, Yah” ujar Bu Suryo pada Pak Suryo dengan alunan tangis sendunya.
“Sabarlah, Bu. Kita berdo’a saja semoga operasinya berhasil” sambut Pak Suryo yang mencoba untuk menenangkan isterinya.
Pak Suryo memeluk Bu Suryo erat-erat, berharap agar beliau dapat menenangkan jiwa istereinya yang semakin rapuh. Sedangkan Andra hanya bisa termenung, hatinya berdiri di atas kecemasan yang tinggi. Kepalanya selalu ia tundukkan ke bawah dan mengucurkan keringat yang sesekali menetes ke lantai.
Detik jam terdengar jelas, teses air hujan yang menimpa atap pun demikian. Andra mulai mengangkat kepalanya, mengarahkan pandangan ke jarum jam.
“Sudah jam delapan Mbak Rini belum juga dating. Bukankah sudah tadi siang aku kabari. Kemana dia?” gerutu Andra dalam hati.
Andra sudah mulai gusar. Ia mengangkat kaki, melepas diri dari pangkuan bangku biru yang mengabdi untuk menunggu.
“Yah, BU! Aku menjemput Mbak Rini dulu ke rumahya. Sudah setengah jam Bang Rian di ruang operasi belumjuga dating. Apa kasih sayangnya pada Bang Rian sudah pudar?!” kata Andra kepada Pak Suryo isterinya berniat meminta izin untuk menjempur Rini, kekasih Rian.
“Ya sudah. Hati-hati, ya!” jawab Pak Suryo.
Pandangan Andra mengarah pada Bu Suryo mengartikan permohonan izinnya karena Bu Suryo hanya bisa menampakkan tangis tanpa kata. Bu Suryo mengangguk, Andra mengerti bahwa ibunya mengizinkannya pergi. Ia pun bergegas pergi meninggalkan rumh sakit dan menancap gas Blezer hitamnya menyusurui jalanan ibu kota yang licin terguyur hujan yang tak juga menandakan bahwa serangannya akan berhenti.
Rian menerjang aspal bagai angin. Lampu merah diterobosnya dan tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor terserempet olehnya.
“Dragh…!” suara benturan mobil Andra dan pengendara sepeda motor itu terdengar menggema dan terdengar oleh orang-orang disekitar perempatan jalan yang bergegas menyongsong tepat Andra menabrak pengendara sepeda motor. Sepeda motor yang ia serempet terkapar di tengah jalan dan pengendaranya menggelinding ke pinggir jalan.
“Sial!” ucap Andra sambil memkul stir mobilnya. Tiga orang berwajah api menggedor kaca mobilnya.
“Buka!” kata salah seorang dari mereka.
Andra membuka pintu mobilnya dan tinju melayang ke wajahnya hingga terlukis beberapa memar karya ketiga orang tersebut. Tepisan yang dilakuakan Andra sia-sia, karena tiga orang yang dihadapinya.
“Ampun! Ampun!” ucap andra, namun ketiga orang tersebut tak mempedulikan dan terus melayangkan pukulan ke sekujur tubuh Andra. Sedangkan lebih dari lima orang membantu korban yang terserempet oleh Andra. Untungnya pengendara sepeda motor tersebut tidak mengalami luka yang serius, hanya luka ringan pada siku dan lutut. Tapi, keadaan sepeda motornya yang mengalami rusak parah karena sempat terlindas oleh truk yang saat itu kebetulan melintas.
Andra tersungkur ke tanah, lututnya mengadu dengan aspal. Salah tau dari tiga orang yang memukulinya mengangkat Andra dengan meremas kerah bajunya dan bersiap melancangkan pukulan keras ke wajah Andra, namun korban yang terserempet oleh Andra menghentikannya.
“Hentikan!” kata pengendara sepeda moptor tersebut, kemudian menghampiri Andra yang sudah nampak lemas. Ia membangunkan Andra dan membawanya ke sebuah kios di pinggir jalan. Yang menyaksikan hal tyersebut hanya bisa terperangah tak percaya. Karena tak ada ekspresi kemarahan di raut wajah pengendara sepeda motor tersebut.
Mobil Andra dan motor yang remuk karena terserempet dan terlindas truk tersebut pun telah dipinggirkan karena membuat macet lalu lintas.
“Kenapa kau menerobos lampu merah?” tanya pengendara sepeda motor kepada Andra sambil memberinya air mineral.
“Aku sedang buru-buru hendak menjemput kekasih kakakku karena kakakku sedang operasi sekarang” jawab Andra yang menitikkan air mata. Bukan karena rasa sakitnya, namun karena ketakutannya kehilangan kakakknya yang sedang berjuang di ruang operasi.
“Oh, sekarang dimana rumah kekasih kakakmu itu?”
Andra menjelaskan alamat Rini secara rinci kepada pengendara motor yang ia tabrak tersebut.
“Baiklah kalau begitu. Siapa namamu?”
“Andra. Nama Bapak?”
“Saya Aji. Sekarang kau tunggalkan tempat ini dan jemput kekasih kakakmu itu sebelum semuanya terlambat!”
Andra sempat terbegong karena Pak Aji yang seharusnya menuntut ganti rugi malah menyuruhnya pergi. Tapi, Andra tidak mau lepas tanggung jawab. Ia menyerahkan kunci mobilnya untuk jaminan sebelum ia mengganti rugi kepada Pak Ajin namun Pak Aji menolaknya.
“Sudah, bawa saja mobilmu!”
“Tapi, Pak…”
“Sudah bawa saja!”
“Tapi saya tidak mau lepas tanggung jawab”
“Kakakku lebih membutuhkan ketepatan waktumu. Jadi, bawalah mobilmu untuk mengejar waktu yang sempat terbuang tadi.
“Tapi…”
“Aku pernah mengalami apa yang kau alami saat ini”
Andra terperangah mendengar kata-kata Pak Aji. Ia tak menyangka bahwa orang di hadapannya pernah mengalami hal yang ia alami kini.
“Heh, kenapa bengong?” tanya Pak Aji mengagetkan Andra.
Andra tersadar dan tiba-tiba menyeret Pak Aji masuk ke mobilnya yang langsung melesat tanpa kata selamat tinggal kepada orang-orang yang sejak tadi menyaksikan drama yang mereka anggap aneh dari Andra dan Pak Aji.
Jalanan aspal terus diterpa oleh Blezer hitam yang body-nya kempt akibat menyerempet motor Pak Aji sebelumnya.
Andra mengatakan sesuatu pada Pak Aji, “Aku…”, belum selesai Andra bicara, Pak Aji sudah menyela, “Aku mengerti maksudmu. Fokuslah ke jalanan, jangan sampai hal tadi terulang kembali!”
Menempuh waktu perjalanan sekitar sepuluh menit sampailah Bezer hitam tersebut di depan rumah Rini. Andra meninggalkan Pak Aji di dalam mobil dan langsung mengetuk pintu.
“kreeek…” pintu dika dan keluarlah Rini dengan baju hangat dan muka heran melihat Andra yang dating malam-malam ke rumahnya, apalagi malam tengah berbalut hujan.
“Andra, ada apa malam-malam begini kamu ke rumah Mbak? Hujan lagi” tanya Rini.
“Ada apa, ada apa! Mbak kan sudah ku kirim SMS bahwa hari ini Bang Rian operasi. Lalu kenapa Mbak tidak datang” jawab Andra dengan nada di atas ubun-ubun.
“Andra, kau lupa ya. HP Mbak kan hilang” balas Rini dengan nada jauh di bawah nada bicara Andra.
Andra menepukkan tangan ke dahinya dan, “Astaghfirullah! Aku lupa” katanya.
“Ya sudah, kita ke rumah sakit sekarang!” seru Rini.
Rini mengunci pintu dan segera mengajak Andra ke rumah sakit tanpa mengganti bajunya. Saat masuk mobil ia kaget melihat Pak Aji.
“Saya Aji. Kau Rini kan?!”
Rini hanya diam terperangah, namun Pak Aji mengobati keheranannya dengan bercerita apa yang terjadi sebelum Andra ke rumahnya. Maka, terobatilah keheranan Rini.
Hujan belum juga menghentikan mengirimkan pasukan rintik air ke bumi yang makin hari makin gersang.
Roda terus menggilan aspal, hingga akhirnya sampai di rumah sakit setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit.
Ponsel Andra berdering. Rupanya Pak Suryo mengabari bahwa operasi Rian berhasil dan kini ia dipindahkan ke ruang ICU. Raut kegembiraan terpancar dari wajah-wajah yang semula cumas selama perjalanan menuju rumah sakit.
Mereka langsung menuju ruang ICU dan menemui Bapak dan Ibu Suryo di depan ruangan tersebut.Melihat Rini Pak Suryo tak mampu membendung emosinya dan langsung meluapkan amarahnya pada Rini.
“Kemana saja kau? Rian disini berjuang melawan maut dan kau tidak ada di sisinya. Dimana kasih sayangmu? Dimana hatimu?”
“Maaf, Om. Aku tidak tahu bahwa Rian sedang operasi”
“Bukankah Andra sudah mengabarimu?”
“Ya, tapi bagaimana kabar itui bisa sampai kepadaku, sedangkan HP-ku saja hilang, Om. Om lupa?”
Rini mengucurkan air mata. Di hatinya bercampur rasa bersalah, kecewa dan takut kehilangan.
Pak Aji tiba-tiba angkat bicara, “Sudahlah! Ini rumah sakit, tidak baik ribut-ribut.”
“Anda siapa?” tanya Bu Suryo.
“Saya Aji. Saya…”
“Pak Aji korbanku, Bu. Beliau terserempet saat aku menerobos lampu merah ketika perjalanan ke rumah Mbak Rini. Aku membawanya kesini untuk mengganti keruguannya” sela Andra.
“Sudahlah! Tidak usah” timpal Pak Aji.
“Tapi sepeda motor Bapak hancur” lanjut Andra.
“Sepeda motorku hancur bukan karena kau, tapi karena truk yang menggilasnya. Jadi, kau tidak perlu mengganti kerugianku”
“Tapi itu gara-gara mobilku menyerempet sepeda motor Bapak”
Pak Aji melangkah meninggalkan keluarga Pak Suryo, namun dicegah oleh Pak Suryo.
“Tunggu, Pak! Kami akan ganti kerugianmu” kata pak Suryo.
“Tidak usah. Kalian sedang tertimpa musibah dan aku tidak sehartusnya menambah beban kalian. Selamat tinggal!”
“Tinggu, Pak! Pak”
Pak Aji terus melangkahkan kaki meninggalkan Pak Suryo dan keluarganya hingga hilang di balik koridor.
Setelah perhatian kepada Pak Aji reda, Rini meminta izin untuk melihat keadaan Rian. Setelah diizinkan Rinipun masuk ke ruang ICU dan mendapati Andra telah siuman. Rini memanggil
Bapak dan Ibu Suryo serta Andra untuk masuk dan melihat keadaan Rian yang telah siuman.
“Mukjizat” ucap Pak Suryo.
Rini mendekat dan memeluk tangan Rian. “Maafkan aku tak datang saat kau operasi” katanya.
Rian mengangguk dan berkata, “Aku ingin bicara pada kalian semua”
“Kau hendak bicara apa, Nak?” tanya Bu Suryo.
“Ayah, Ibu! Aku ingin mengucapkan terimakasih atas kasih saying yang kalian berikan. Aku juga minta maaf jika aku hanya menyusahkan kalian saja. Andra, kau lanjutkan perjuanganmu untuk menembus dapur rekaman. Kejar terus mimpimu! Rini, aku mencintaimu hingga akhir waktuku”.
“Aku juga mencintaimu” jawab Rini.
Rian membelai pipi halus Rini yang dilalui air mata, kemudian mencium tangan kedua orang tuanya dan terakhir menggenggam tangan Andra untuk mengalirkan api semangat di jiwaadiknya tersebut.
“Selamat tinggal!” kata rian kemudian matanya terpejam.
“Rian?” refleks Bu Suryo yang kaget melihat anaknya terpejam lagi. Pak Suryo memanggil dokter dan saat tiba di ruangan Rian, dokter langsung bertindak. Namun, hasilnya bihil.
“Rian telah pergi” kata dokter lemas.
Tangis meledak ketika dokter berkata bahwa Rian telah pergi meninggalkan dunia. Mereka tak petcaya ini terjadi karena Rian menyentuk mereka sebelumnya dan kini ia telah tiada.
Belaian, genggaman dan ciuman tangannya terhadap orang-orang yang ia sayangi ternyata sebuah tanda perpisajhan yang disaksikan oleh malam hujan yang menyembunyikan purnama. Hujan itu ada;ah utusan tuhan untuk membasahi tanah sebagai persemayaman terakhir nagi Rian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTARI SETIAP POSTING YANG SAYA TULIS.....

JANGAN LUPA KOMENTARI SEMUA YANG ADA DI NEGARA KITA....