Sabtu, 28 November 2009

CARA MEMBUAT TULISAN BERJALAN PADA NAVBAR

1. sign in di blog.
2. klik elemen halaman.
3. pilih edit html.
4. download template lengkap,supaya nanti klo hasil editannya gagal kita masih punya backupan yang bisa kita gunaen buat ngembaliin blog sperti semula.
5. copy paste code di bawah ini,trus cari kode kyak gni
code :



6. taruh code diatas tepat diatas code 7. terakhir simpan template trus lihat hasilnya.

catatan : 1. Ganti tulisan yang berwarna merah dengan kata2 yang anda inginkan.
2. atur kecepatan sesuai yang anda inginkan.

Sabtu, 14 November 2009

cerpen: TANGAN LEMAH

Terik matahari terasa membakar seluruh tubuhku. Mataku selungukan di depan sebuak WARNET pinggir jalan. Sesekali aku mencermati satu per satu sandal dan sepatu di depan pintu WARNET tersebut. Aku memilih tumpukan alas kaki tersebut seolah hendak membelinya.
“Sepi!,” Seruku dalam hati.
Dengan gerak cepar aku mengambil beberapa pasang dari alas kaki yang kuincar tersebut. Ya, aku mencurinya dan hasil curian itu akan kujual ke tukang loak yang biasa menerima barang hasil curianku. Entah karena aksian ataukah karena Si Tukang Loak itu butuh pada sandal dan sepatu yang kujual padanya, ia selalu menerima barang yang kujual meski di lapaknya masih menumpuk begitu banyak sandal dan sepatu dariku. Yang pasti, aku sangat berterima kasih padanya. Karena berkat dia, aku tetap bisa memberi makan kedua adikku setiap hari.
“Mang, ni ada barang lagi. Mau beli tidak?” Tawarku pada Mang Itong, tukang loang menerina hasil curianku.
“Ada berapa?”
“Empat pasang.”
Mang itong memeriksa Sandal dan sepatu dariku dengan seksama, kemudian berkata,”Sepuluh ribu ya?”
“Yah, tambah lagi lah!” Pintaku memelas.
“Ya sudah lima belas ribu.”
“Baiklah. Terima kasih ya, Mang!”
Aku pergi meninggalkan lapak Mang Itong, kemudian pergi ke pasar untuk membeli tempe dan seliter beras. Kugenggam erat uang dari Mang Itong. Hatiku pili bila mengingat uang itu hasil curian. Aku tak sampai hati memberi makan adik-adikku dengan cara yang tak halal. Namun, apalah daya. Aku hanya seorang pemuda yatim-piyatu yang menanggung beban beran di punggungnya dari adik-aduknya yang masih kecil-kecil, namun tak ada keahlian mencari uang. Maka, kujalani hidup sebagai pencuri kelas kacang tanah.
***
Aku tersenyum bercampur haru melihat adik-adikku makan dengan lahap. Aku tak habis piker betapa kelaparannya mereka sehingga piring yang telah kosong dari nasi dan lauk masih juga mereka jilati.
“Min, sudahlah, jangan kamu jilati juga piring yang sudah kosng itu!” Kataku pada Amin adik pertamaku.
“Kenapa, Kang?” Tanya Amin.
“Kamu jangan mengajari adikmu bertingkah seperti kucing denganmenjilati piring sisa makanan itu! Lihatlah Ari! Dia mengikuti tingkahmu.”
“Tapi aku masih lapar, Kang.”
“Kakang tahu. Tapi, hanya itu yang bias kakang berikan pada kalian. Kakang tidak bisa memberi lebih dari ini. Inilah kemampuan kakang.”
Kulihat Amin meringis. Hatiku bertambah pilu. Sejak pagi Amin dan Ari tak menyentuh nasi dan baru makan di malam hari. Itupun tak sampai membuat mereka kenyang. Tak terasa air mata mengalir dari pelupuk mataku yang lemah.
“Sudahlah, jangan meringis seperti itu!”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau kamu bersikap seperti itu, seolah-olah kamu tidak bersyukur akan nikmat yang Allah berikan malam ini. Kamu lihat Ari! Dia masih bisa bersyukur dengan memejamkan matanya dan membawa dirinya ke dalam mimpi.”
“Ya sudah, aku tidur.”
Amin beranjak tidur. Akupun merasakan kantuk menerpa diriku hingga aku tak sempat mengikuti malam hingga usai.
***
Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sudah bertengger di depan WARNET depan Jalan Raya Serang, tempatku biasa beroperasi. Celingak-selinguk lalu mematuk. Beberapa sepatu kurangkul, namun naas, aku kena pukul. Salah seorang pengunjung WARNET kebetulan keluar dan mendapati aku hendak mencuru sepatunya.
Aksi pemukulan salah seorang pengunjung WARNET itu memancing pengunjung lain keluar dan ikut memukuliku. Hantaman bogem mentah mendarat di wajahku, tendangan menyakitkan disematkan di dada dan perutku. Aku tak bisa mengelak.
“Ampun! Ampun!” Rengekku.
Setelah aku lemah dan merengek kesakitan, barulah mereka menghentikan pemukulannya. Aku yang terbaring lemah mereka dudukkan, kemudian diberi segelas air putih. Lebih dari lima pasang mata menatapku tajam, tak terkecuali pemilik WARNET yang takut omzetnya menurutn jika selalu terjadi pencurian alas kaki di WARNET-nya.
“Kenapa kamu selalu mencuri sandal di WARNET-ku?” Tanya pemilik WARNET padaku.
“Aku terpaksa.”
“Kenapa?”
“Aku butuh uang untuk makan adik-adikku. Kami yatim piyatu.”
“Lalu kenapa kau lakukan hal sehina ini? Tegakah kau memebri makan adik-adikmu dengancara yang yak halal?”
“Sebenarnya perih rasanya”
“Lalu kenapa kau lakukan juga?”
Aku diam, seorang dari mereka menamparku, yang lain menggeretaknya agar tak mengulangi.
“Bawa ke polisi saja!” Seru orang yang menamparku.
“Ampun! Janganbawa aku ke polisi!” Rengekku.
“Kau tidak akan kami bawa ke polisi. Kasihan adik-adikmu jika kau kami bawa ke bui.” Jawab pemilik WARNET.
Aku tersenyum dan berterima kasih pada mereka yang telah mengampuniku. Namun dengan syarat bahwa aku tak boleh lagi mencuri di WARNET tersebut.
***
Aku memutuskan untuk berjualan Koran. Bergulat dengan matahari, aku menjajakan Koran di lampu merah. Peluh tak henti-hentinya mengucur dari pori-poriku. Dalam hati aku bertekad, “Korannya harus habis!”
Ya, korannya habis jam tiga sore. Aku pulang dengan senyum sumringa ke rumah. Namun, senyum tersebut seketika hilang setelah melihat Ari kejang-kejang. Sesuatu terjadi pada Ari.
“Kenapa Ari, Min?”
“Tidak tahu. Badannya panas sekali.”
“Sudah kamu kompres?”
“Sduah tapi panasnya tak mau turun.”
“Kita bawa ke rumah sakit!”
“Tapi, Kang…”
“Sudahlah! Kakang tidak mau terlambat.”
Tanpa berpikir panjang aku beserta Amin membawa Ari ke rumah sakit. Ari langsung dibawa ke UGD. Namun, pihak rumah sakit tak mau memberikan perawatan inap pada Ari karena aku tak mampu membayar. Kartu JAMKESMAS hanya bisa meringankan biaya, bukan menggratiskan biaya.
Alasan itu berulang kali diucapkan dari mulut pihak administrasi dan dokter rumah sakit milik pemerintah tersebut.
“Toling, Dok! Kashan adik saya.” Pintaku.
“Kami belum bisa melakukan perawatan kalau anda belum melunasi administrasinya.” Jawab doketer.
“Rumah sakit macam apa ini? Bukankah jika mempunyai kartu JAMKESMAS akan mendapatkan perawatan gratis?”
“Tidak, Pak. Kartu tersebut hanya untuk meringankan biaya.”
“Tega kalian!”
Kudorong dokter hingga terjatuh, kemudian aku berkata, “Harusnya kau berseragam hitam saja, bukan putih!”
Aku berlari meninggalkan rumah sakit, pulang ke rumah, kemudian pergi menuju toko emas di pasar. Bermodalkan golok yang kuambil dari rumah aku menodong pemilik toko emas tersebut agar menyerahkan uangnya kepadaku.
“Serahkan seluruh uangmu!” Geretakku.
“Baik-baik.” Jawab penilik toko emas dengan ketakutan yang kemudian menyerahkan sejumlah uang bernilai lebih dari satu juta kepadaku. Uang tersebut langsung kubungkus dengan sarung dan pergi sambil terus mengacungkan golok agar tak disergap warga di pasar.
Aku berlari menuju rumah sakit. Lebih dari sepuluh orang di pasar mengejarku. Aku terus berlari, berlari dan berlari. Beberapa kali aku hamper tertangkap oleh mereka, tapi aku gesit meloloskan diri. Hingga akhirnya aku sampai di rumah sakit, namun mereka masih mengejarku.
Lorong-lorong di rumah sakit jadi lintasan pelarianku. Aku berlari menuju tempat administrasi. Setelah sampai, aku langsung menyerahkan uang yang harus dibayar kepada rumah sakit.
“Maaf, Pak! Adik anda tidak tertolong. Kamu juga mendapati adik anda yang lain tergantung di lorong samping kamar jenazah.”
Mendengar keterangan dari pihak anmidistrasi aku jadi geram. Aku tak habis pikir, rumah sakit milik pemerintah bisa sekejam ini pada rakyatnya jika dipegang oleh dokter yang tak berhati. Kuobrak-abrik tempat adminirtrasi hingga bagai puing-puing pesawat yang meledak. Namun, beberapa saat kemudian, orang-orang dari pasar menemukanku dengan ditemani SATPAM rumah sakit yang kemudian menghajarku hingga babak belur. SATPAM rumah sakit berusaha menghentikan mereka, namun tak berhasil. Mereja baru berhenti setelah aku berbentuk seperti adonan roti yang diberi pewarna merah.
***
Setelah mendapat siksaan berat, aku dijebloskan ke bui. Aku terkurung dalam rangkar beri, berselimut duka atas kematian kedua adikku yang mengenaskan. Namun, di tempat ini aku tak pernah kehilangan nasi.

-SELESAI-

Rabu, 11 November 2009

cerpen: TANPA CAHAYA

Semilir angin bersenandung indah, sejukkan seluruh makhluk-Nya. Burung-burung bersenandung dengan riang, bersahutan satu dengan lainnya. Wangi bungan bercampur embun menyeruak merasuiki lembah penciumanku. Namun, tak dapat kulihat senym mentari. Hanya kegelapan yang dapat kutangkap.

Kuseruput teh hangat dengan hati-hati. Manis teh yang mendarat di karpet rasaku berbanding terbalik dengan kenyataan yang aku alami. Kenyataan pahit yang harus aku telan karena ulahku sendiri.
***
Setahun lalu, aku sempat menjadi orang paling ditakuti di sekolah. Hapir semua murid tak bernyali bila berhadapan denganku. Laki-laki maupun perempuan, tak luput dari tangan jahilku. Hamper semua siswi pernah menjadi korban kejahilanku. Siswanya pun habis kupukuli dan kupalak. Hanya satu yang tak pernah menampakkan ketakutan bila berhadapan denganku. Ali namanya, seorang siswa penerima beasiswa. Ia tyak pornah takut bila berhadapan denganku, malah ia tersenyum. Hal itu membuatku makin geram padanya dan penasaran ingin melihat kemarahannya.

Sabtu sore, Ali diberi mandate oleh Kepala Sekolah untuk mengecat tiang bendera yang warnanya telah pudar dihantam zaman. Ia pun mentaatati perintah Kepala Sekolah, meski harus mengerjakannya seorang diri. Melihat situasi ini, pikiranku berinisiatif untuk menemaninya sekaligus menciptakan rasa takut padanya bila ia berhadapan denganku lagi.

Aku masuk ke ruangan Kepala Sekolah dan menawarkan diri membantu Ali mengecat tiang bendera.

“Pak, boleh saya membantu Ali mengecat tiang bendera?”, taearku.

“Yang benar kamu?”, Tanya Kepala Sokolah.

“Benar, Pak.”
“Saya tidak menyangka. Murid seperti kamu mau melakukan pekerjaan ini.”

“Setiap orang ka nada sisi baiknya, Pak. Jadi boleh tidak aku membantunya?”

“Boleh, boleh.”

“Terima kasih, Pak.”

Aku mencium tangan Kepala Sekolah untuk menambah keyakinannya, kemudian pergi dengan langkah girang, disusul Kepala Sekolah yang akan bertolak pulang. Kuhampiri Ali yang sedang mebuka kaleng tinner untuk dicampurkan dengan cat. Aku melangkah perlahan, kukeluarkan pisau lipat dari saku celanaku untuk menggertak Ali agar timbul rasa takutnya padaku.

“Lagi apa, Li?”, tanyaku tiba-tiba.

“Eh. Kamu, Jod. Ada apa?” sahutnya.

Aku tak menjawab. Aku semakin mendekat padanya dan, “Sekarang masih tidak takut kau denganku?”, tanyaku seraya menodongkan pisau ke lehernya.

Tak disangka, perbuatanku mengejutkan Ali dan menumpahkan tinner di tangannya ke wajahku dan otomatis mengenai mataku. Seketika itu aku merintih dan merung-raung kesakitan. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.

“Aarrgh! Sakit!”, rintihku.

Dengan samara kulihat Ali panik. Ia pergi ke toilet, namun tak ada air karena sejak pagi listrik. Ia berlari meninggalkanku. Aku merintih sendiri di lapangan upacara.

Hampir dua pulih menit aku ditinggal sendirian oleh Ali, kemudian ia dating dengan membawa seember air. Semakin samara aku melihatnya. Ali menyiramkan air dalam ember terse but ke wajahku dan mengucek-ucek mataku, tapi hasilnya nihil.

Ali membopong dan menaikanku ke dalam taksi. Kudengar suara Ali berseru pada sopir taksi tersebut, “Pak, ke rumah sakit” dan seruannya langsung dipatuhi oleh sopir taksi tersebut.

Taksi melaju dengan cepat. Aku semakin tak kuat menahan rasa sakit dan tak lagi sadarkan diri.
***
Setelah sadar, hanya kegelapan yang tertangkap oleh mataku.

“Dimana ini?” tanyaku pelan, tak tertuju pada diriku sendiri.

“Kamu ada di rumah sakit, Nak.”, terdengar suara ibu menjawab pertanyaanku.

“Tapi, kenapa gelap sekali?”

“Dokter bilang kamu mengalami kebutaan karena terlalu lama tinner berada di matamu.”

“Apa? Tidak mungkin!”

“Ini benar, Nak.”

Aku berteriak histeris, tak dapat menerima kenyataan ini. Kuremas-remas rambutku, kupukul-pukul dadaku. Aku menangis sejadi-jadinya.

“Lalu dimana Ayah?”

“Beliau sedang di ruangan dokter.”
Tak lama kemudian terdengar suara pitu dibuka. Terdengar suara Ayah bertanya padaku dari gawang pintu, “Jodi, kamu sudah siuman?”

“Ayah?”, sakutku.

“Ya. Syukurlah kamu sudah sadar.”

“Kenapa harus bersyukur, bukankah hanya ragaku yang sadar?”

“Maksudmu?”, Tanya Ibu.

“Mataku tak ikut merasakan kehidupan. Kenapa tidak ia bunuh saja aku?”

“Maksudmu Ali?”, Tanya Ayah.

“Siapa lagi. Hanya aku dan dia yang ada disana.”

“Jangan berkata demikian! Ali tak bersalah. Ia hanya kaget saat kamu menodongkan pisau ke lehernya. Kamu mau membunuhnya? Lagipula kamu masih bias sembuh bila ada yang mendonorkan matanya padamu.”

“Tidak. Aku hanya ingin dia takut padaku.”
***
Kutempelkan kedua bibirku pada cangkir teh yang ada ditanganku, tapi cangkir tersebut tak berisi teh lagi. Kubanting cangkir tersebut hingga Ibu masuk ke kamarku.

“Ada apa, Jod?”, tanyanya.

“Ako bosan dengan kegelapan ini.”

“Kamu tidak akan merasakan kegelapan lagi, karena lusa kamu akan operasi.”
“Yang benar?”

“Untuk apa Ibu berbohong padamu”

“Aku tersenyum gembira. Lama aku tak tersenyum setelah aku kehilangan penglihatan.”
***
Saat yang dinanti telah tiba. aku memasuki ruang operasi pukul empat sore, setelah paginya aku tiba di rumah sakit untuk diperiksa kesehatannya dan beristirahat. Terasa jarum suntik menembus pori-pori kulitku dan akupun meningalkan alam sadarku.

Sebulan kemudian, hari pertama aku membuka perban di mataku, pertama kali pula aku dapat kembali melihat indahnya dunia. Setelah seluruh perban dibuka, terlihat cahaya begitu terang mengyhampiri mataku, men unjukkan dunia yang begitu indah.

Di hadapanku ada dokter, Ayah serta I bu. Kulihat mereka tersenyum bahagia melihat kesembuyhanku.

“Siapa malaikat yang telah mendonorkan matanya padaku?’ tanyaku.

“Kamu baca surat ini agar kamu tahu siapa malaikat penolongmu!” jawab Ibu seraya menyerahkan sepucuk surat padaku.

Kubaca surat itu. Demikian isi surat yang kubaca:

Untuk Jodi, sahabatku.

Saat kau baca surat ini, mungkin aku telah tak ada lagi di dunia.

Aku telah berdosa menghilangkan cahaya dari matamu. Sungguh aku ingin menebus kesalahanku. Aku mendatangi kedua orang tuamu untuk menjebloskanku ke penjara karena telah menyakitimu, namun mereka tak menghiraukannya karena menurut mereka, aku tidak bersalah ketika aku menjelaskan kejadian yang saat itu menyebabkanmu menderita. Meski orang tuamu mengangap aku tak bersalah, aku tetap[ dihantui dosa. Aku minta agar Kepala Sekolah mencabut beasiswaku dan mengeluarkanku dari sekolah, namun beliau pun tak menghiraukannya.

Aku tak pernah bias menghilangkan rasa bersalah ini. Maka, kuputuskan untuk memberikan kornea mataku padamu setelah ragaku terbujur kaku. Ya, kanker otak telah menghabisi hidupku.

Jodi, maafkan kesalahanku.

Tertanda

Alimudin

***
Air mata berlinang menlintasi pipiku. Aku menyadari ternyata Ali tak pernah menaruh benci padaku, tapi aku menyimpan begitu besar kebencian terhadapnya yang tak memiliki salah sedikitpun padaku.

“Terima kasih, Ali. Selamat jalan! Kan kujaga cahaya yang telah kau berikan padaku dan akan menjadi amal yang tak pernah putus bagimu.”, batinku.
-SELESAI-