Sabtu, 14 November 2009

cerpen: TANGAN LEMAH

Terik matahari terasa membakar seluruh tubuhku. Mataku selungukan di depan sebuak WARNET pinggir jalan. Sesekali aku mencermati satu per satu sandal dan sepatu di depan pintu WARNET tersebut. Aku memilih tumpukan alas kaki tersebut seolah hendak membelinya.
“Sepi!,” Seruku dalam hati.
Dengan gerak cepar aku mengambil beberapa pasang dari alas kaki yang kuincar tersebut. Ya, aku mencurinya dan hasil curian itu akan kujual ke tukang loak yang biasa menerima barang hasil curianku. Entah karena aksian ataukah karena Si Tukang Loak itu butuh pada sandal dan sepatu yang kujual padanya, ia selalu menerima barang yang kujual meski di lapaknya masih menumpuk begitu banyak sandal dan sepatu dariku. Yang pasti, aku sangat berterima kasih padanya. Karena berkat dia, aku tetap bisa memberi makan kedua adikku setiap hari.
“Mang, ni ada barang lagi. Mau beli tidak?” Tawarku pada Mang Itong, tukang loang menerina hasil curianku.
“Ada berapa?”
“Empat pasang.”
Mang itong memeriksa Sandal dan sepatu dariku dengan seksama, kemudian berkata,”Sepuluh ribu ya?”
“Yah, tambah lagi lah!” Pintaku memelas.
“Ya sudah lima belas ribu.”
“Baiklah. Terima kasih ya, Mang!”
Aku pergi meninggalkan lapak Mang Itong, kemudian pergi ke pasar untuk membeli tempe dan seliter beras. Kugenggam erat uang dari Mang Itong. Hatiku pili bila mengingat uang itu hasil curian. Aku tak sampai hati memberi makan adik-adikku dengan cara yang tak halal. Namun, apalah daya. Aku hanya seorang pemuda yatim-piyatu yang menanggung beban beran di punggungnya dari adik-aduknya yang masih kecil-kecil, namun tak ada keahlian mencari uang. Maka, kujalani hidup sebagai pencuri kelas kacang tanah.
***
Aku tersenyum bercampur haru melihat adik-adikku makan dengan lahap. Aku tak habis piker betapa kelaparannya mereka sehingga piring yang telah kosong dari nasi dan lauk masih juga mereka jilati.
“Min, sudahlah, jangan kamu jilati juga piring yang sudah kosng itu!” Kataku pada Amin adik pertamaku.
“Kenapa, Kang?” Tanya Amin.
“Kamu jangan mengajari adikmu bertingkah seperti kucing denganmenjilati piring sisa makanan itu! Lihatlah Ari! Dia mengikuti tingkahmu.”
“Tapi aku masih lapar, Kang.”
“Kakang tahu. Tapi, hanya itu yang bias kakang berikan pada kalian. Kakang tidak bisa memberi lebih dari ini. Inilah kemampuan kakang.”
Kulihat Amin meringis. Hatiku bertambah pilu. Sejak pagi Amin dan Ari tak menyentuh nasi dan baru makan di malam hari. Itupun tak sampai membuat mereka kenyang. Tak terasa air mata mengalir dari pelupuk mataku yang lemah.
“Sudahlah, jangan meringis seperti itu!”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau kamu bersikap seperti itu, seolah-olah kamu tidak bersyukur akan nikmat yang Allah berikan malam ini. Kamu lihat Ari! Dia masih bisa bersyukur dengan memejamkan matanya dan membawa dirinya ke dalam mimpi.”
“Ya sudah, aku tidur.”
Amin beranjak tidur. Akupun merasakan kantuk menerpa diriku hingga aku tak sempat mengikuti malam hingga usai.
***
Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sudah bertengger di depan WARNET depan Jalan Raya Serang, tempatku biasa beroperasi. Celingak-selinguk lalu mematuk. Beberapa sepatu kurangkul, namun naas, aku kena pukul. Salah seorang pengunjung WARNET kebetulan keluar dan mendapati aku hendak mencuru sepatunya.
Aksi pemukulan salah seorang pengunjung WARNET itu memancing pengunjung lain keluar dan ikut memukuliku. Hantaman bogem mentah mendarat di wajahku, tendangan menyakitkan disematkan di dada dan perutku. Aku tak bisa mengelak.
“Ampun! Ampun!” Rengekku.
Setelah aku lemah dan merengek kesakitan, barulah mereka menghentikan pemukulannya. Aku yang terbaring lemah mereka dudukkan, kemudian diberi segelas air putih. Lebih dari lima pasang mata menatapku tajam, tak terkecuali pemilik WARNET yang takut omzetnya menurutn jika selalu terjadi pencurian alas kaki di WARNET-nya.
“Kenapa kamu selalu mencuri sandal di WARNET-ku?” Tanya pemilik WARNET padaku.
“Aku terpaksa.”
“Kenapa?”
“Aku butuh uang untuk makan adik-adikku. Kami yatim piyatu.”
“Lalu kenapa kau lakukan hal sehina ini? Tegakah kau memebri makan adik-adikmu dengancara yang yak halal?”
“Sebenarnya perih rasanya”
“Lalu kenapa kau lakukan juga?”
Aku diam, seorang dari mereka menamparku, yang lain menggeretaknya agar tak mengulangi.
“Bawa ke polisi saja!” Seru orang yang menamparku.
“Ampun! Janganbawa aku ke polisi!” Rengekku.
“Kau tidak akan kami bawa ke polisi. Kasihan adik-adikmu jika kau kami bawa ke bui.” Jawab pemilik WARNET.
Aku tersenyum dan berterima kasih pada mereka yang telah mengampuniku. Namun dengan syarat bahwa aku tak boleh lagi mencuri di WARNET tersebut.
***
Aku memutuskan untuk berjualan Koran. Bergulat dengan matahari, aku menjajakan Koran di lampu merah. Peluh tak henti-hentinya mengucur dari pori-poriku. Dalam hati aku bertekad, “Korannya harus habis!”
Ya, korannya habis jam tiga sore. Aku pulang dengan senyum sumringa ke rumah. Namun, senyum tersebut seketika hilang setelah melihat Ari kejang-kejang. Sesuatu terjadi pada Ari.
“Kenapa Ari, Min?”
“Tidak tahu. Badannya panas sekali.”
“Sudah kamu kompres?”
“Sduah tapi panasnya tak mau turun.”
“Kita bawa ke rumah sakit!”
“Tapi, Kang…”
“Sudahlah! Kakang tidak mau terlambat.”
Tanpa berpikir panjang aku beserta Amin membawa Ari ke rumah sakit. Ari langsung dibawa ke UGD. Namun, pihak rumah sakit tak mau memberikan perawatan inap pada Ari karena aku tak mampu membayar. Kartu JAMKESMAS hanya bisa meringankan biaya, bukan menggratiskan biaya.
Alasan itu berulang kali diucapkan dari mulut pihak administrasi dan dokter rumah sakit milik pemerintah tersebut.
“Toling, Dok! Kashan adik saya.” Pintaku.
“Kami belum bisa melakukan perawatan kalau anda belum melunasi administrasinya.” Jawab doketer.
“Rumah sakit macam apa ini? Bukankah jika mempunyai kartu JAMKESMAS akan mendapatkan perawatan gratis?”
“Tidak, Pak. Kartu tersebut hanya untuk meringankan biaya.”
“Tega kalian!”
Kudorong dokter hingga terjatuh, kemudian aku berkata, “Harusnya kau berseragam hitam saja, bukan putih!”
Aku berlari meninggalkan rumah sakit, pulang ke rumah, kemudian pergi menuju toko emas di pasar. Bermodalkan golok yang kuambil dari rumah aku menodong pemilik toko emas tersebut agar menyerahkan uangnya kepadaku.
“Serahkan seluruh uangmu!” Geretakku.
“Baik-baik.” Jawab penilik toko emas dengan ketakutan yang kemudian menyerahkan sejumlah uang bernilai lebih dari satu juta kepadaku. Uang tersebut langsung kubungkus dengan sarung dan pergi sambil terus mengacungkan golok agar tak disergap warga di pasar.
Aku berlari menuju rumah sakit. Lebih dari sepuluh orang di pasar mengejarku. Aku terus berlari, berlari dan berlari. Beberapa kali aku hamper tertangkap oleh mereka, tapi aku gesit meloloskan diri. Hingga akhirnya aku sampai di rumah sakit, namun mereka masih mengejarku.
Lorong-lorong di rumah sakit jadi lintasan pelarianku. Aku berlari menuju tempat administrasi. Setelah sampai, aku langsung menyerahkan uang yang harus dibayar kepada rumah sakit.
“Maaf, Pak! Adik anda tidak tertolong. Kamu juga mendapati adik anda yang lain tergantung di lorong samping kamar jenazah.”
Mendengar keterangan dari pihak anmidistrasi aku jadi geram. Aku tak habis pikir, rumah sakit milik pemerintah bisa sekejam ini pada rakyatnya jika dipegang oleh dokter yang tak berhati. Kuobrak-abrik tempat adminirtrasi hingga bagai puing-puing pesawat yang meledak. Namun, beberapa saat kemudian, orang-orang dari pasar menemukanku dengan ditemani SATPAM rumah sakit yang kemudian menghajarku hingga babak belur. SATPAM rumah sakit berusaha menghentikan mereka, namun tak berhasil. Mereja baru berhenti setelah aku berbentuk seperti adonan roti yang diberi pewarna merah.
***
Setelah mendapat siksaan berat, aku dijebloskan ke bui. Aku terkurung dalam rangkar beri, berselimut duka atas kematian kedua adikku yang mengenaskan. Namun, di tempat ini aku tak pernah kehilangan nasi.

-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTARI SETIAP POSTING YANG SAYA TULIS.....

JANGAN LUPA KOMENTARI SEMUA YANG ADA DI NEGARA KITA....