Rabu, 11 November 2009

cerpen: TANPA CAHAYA

Semilir angin bersenandung indah, sejukkan seluruh makhluk-Nya. Burung-burung bersenandung dengan riang, bersahutan satu dengan lainnya. Wangi bungan bercampur embun menyeruak merasuiki lembah penciumanku. Namun, tak dapat kulihat senym mentari. Hanya kegelapan yang dapat kutangkap.

Kuseruput teh hangat dengan hati-hati. Manis teh yang mendarat di karpet rasaku berbanding terbalik dengan kenyataan yang aku alami. Kenyataan pahit yang harus aku telan karena ulahku sendiri.
***
Setahun lalu, aku sempat menjadi orang paling ditakuti di sekolah. Hapir semua murid tak bernyali bila berhadapan denganku. Laki-laki maupun perempuan, tak luput dari tangan jahilku. Hamper semua siswi pernah menjadi korban kejahilanku. Siswanya pun habis kupukuli dan kupalak. Hanya satu yang tak pernah menampakkan ketakutan bila berhadapan denganku. Ali namanya, seorang siswa penerima beasiswa. Ia tyak pornah takut bila berhadapan denganku, malah ia tersenyum. Hal itu membuatku makin geram padanya dan penasaran ingin melihat kemarahannya.

Sabtu sore, Ali diberi mandate oleh Kepala Sekolah untuk mengecat tiang bendera yang warnanya telah pudar dihantam zaman. Ia pun mentaatati perintah Kepala Sekolah, meski harus mengerjakannya seorang diri. Melihat situasi ini, pikiranku berinisiatif untuk menemaninya sekaligus menciptakan rasa takut padanya bila ia berhadapan denganku lagi.

Aku masuk ke ruangan Kepala Sekolah dan menawarkan diri membantu Ali mengecat tiang bendera.

“Pak, boleh saya membantu Ali mengecat tiang bendera?”, taearku.

“Yang benar kamu?”, Tanya Kepala Sokolah.

“Benar, Pak.”
“Saya tidak menyangka. Murid seperti kamu mau melakukan pekerjaan ini.”

“Setiap orang ka nada sisi baiknya, Pak. Jadi boleh tidak aku membantunya?”

“Boleh, boleh.”

“Terima kasih, Pak.”

Aku mencium tangan Kepala Sekolah untuk menambah keyakinannya, kemudian pergi dengan langkah girang, disusul Kepala Sekolah yang akan bertolak pulang. Kuhampiri Ali yang sedang mebuka kaleng tinner untuk dicampurkan dengan cat. Aku melangkah perlahan, kukeluarkan pisau lipat dari saku celanaku untuk menggertak Ali agar timbul rasa takutnya padaku.

“Lagi apa, Li?”, tanyaku tiba-tiba.

“Eh. Kamu, Jod. Ada apa?” sahutnya.

Aku tak menjawab. Aku semakin mendekat padanya dan, “Sekarang masih tidak takut kau denganku?”, tanyaku seraya menodongkan pisau ke lehernya.

Tak disangka, perbuatanku mengejutkan Ali dan menumpahkan tinner di tangannya ke wajahku dan otomatis mengenai mataku. Seketika itu aku merintih dan merung-raung kesakitan. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.

“Aarrgh! Sakit!”, rintihku.

Dengan samara kulihat Ali panik. Ia pergi ke toilet, namun tak ada air karena sejak pagi listrik. Ia berlari meninggalkanku. Aku merintih sendiri di lapangan upacara.

Hampir dua pulih menit aku ditinggal sendirian oleh Ali, kemudian ia dating dengan membawa seember air. Semakin samara aku melihatnya. Ali menyiramkan air dalam ember terse but ke wajahku dan mengucek-ucek mataku, tapi hasilnya nihil.

Ali membopong dan menaikanku ke dalam taksi. Kudengar suara Ali berseru pada sopir taksi tersebut, “Pak, ke rumah sakit” dan seruannya langsung dipatuhi oleh sopir taksi tersebut.

Taksi melaju dengan cepat. Aku semakin tak kuat menahan rasa sakit dan tak lagi sadarkan diri.
***
Setelah sadar, hanya kegelapan yang tertangkap oleh mataku.

“Dimana ini?” tanyaku pelan, tak tertuju pada diriku sendiri.

“Kamu ada di rumah sakit, Nak.”, terdengar suara ibu menjawab pertanyaanku.

“Tapi, kenapa gelap sekali?”

“Dokter bilang kamu mengalami kebutaan karena terlalu lama tinner berada di matamu.”

“Apa? Tidak mungkin!”

“Ini benar, Nak.”

Aku berteriak histeris, tak dapat menerima kenyataan ini. Kuremas-remas rambutku, kupukul-pukul dadaku. Aku menangis sejadi-jadinya.

“Lalu dimana Ayah?”

“Beliau sedang di ruangan dokter.”
Tak lama kemudian terdengar suara pitu dibuka. Terdengar suara Ayah bertanya padaku dari gawang pintu, “Jodi, kamu sudah siuman?”

“Ayah?”, sakutku.

“Ya. Syukurlah kamu sudah sadar.”

“Kenapa harus bersyukur, bukankah hanya ragaku yang sadar?”

“Maksudmu?”, Tanya Ibu.

“Mataku tak ikut merasakan kehidupan. Kenapa tidak ia bunuh saja aku?”

“Maksudmu Ali?”, Tanya Ayah.

“Siapa lagi. Hanya aku dan dia yang ada disana.”

“Jangan berkata demikian! Ali tak bersalah. Ia hanya kaget saat kamu menodongkan pisau ke lehernya. Kamu mau membunuhnya? Lagipula kamu masih bias sembuh bila ada yang mendonorkan matanya padamu.”

“Tidak. Aku hanya ingin dia takut padaku.”
***
Kutempelkan kedua bibirku pada cangkir teh yang ada ditanganku, tapi cangkir tersebut tak berisi teh lagi. Kubanting cangkir tersebut hingga Ibu masuk ke kamarku.

“Ada apa, Jod?”, tanyanya.

“Ako bosan dengan kegelapan ini.”

“Kamu tidak akan merasakan kegelapan lagi, karena lusa kamu akan operasi.”
“Yang benar?”

“Untuk apa Ibu berbohong padamu”

“Aku tersenyum gembira. Lama aku tak tersenyum setelah aku kehilangan penglihatan.”
***
Saat yang dinanti telah tiba. aku memasuki ruang operasi pukul empat sore, setelah paginya aku tiba di rumah sakit untuk diperiksa kesehatannya dan beristirahat. Terasa jarum suntik menembus pori-pori kulitku dan akupun meningalkan alam sadarku.

Sebulan kemudian, hari pertama aku membuka perban di mataku, pertama kali pula aku dapat kembali melihat indahnya dunia. Setelah seluruh perban dibuka, terlihat cahaya begitu terang mengyhampiri mataku, men unjukkan dunia yang begitu indah.

Di hadapanku ada dokter, Ayah serta I bu. Kulihat mereka tersenyum bahagia melihat kesembuyhanku.

“Siapa malaikat yang telah mendonorkan matanya padaku?’ tanyaku.

“Kamu baca surat ini agar kamu tahu siapa malaikat penolongmu!” jawab Ibu seraya menyerahkan sepucuk surat padaku.

Kubaca surat itu. Demikian isi surat yang kubaca:

Untuk Jodi, sahabatku.

Saat kau baca surat ini, mungkin aku telah tak ada lagi di dunia.

Aku telah berdosa menghilangkan cahaya dari matamu. Sungguh aku ingin menebus kesalahanku. Aku mendatangi kedua orang tuamu untuk menjebloskanku ke penjara karena telah menyakitimu, namun mereka tak menghiraukannya karena menurut mereka, aku tidak bersalah ketika aku menjelaskan kejadian yang saat itu menyebabkanmu menderita. Meski orang tuamu mengangap aku tak bersalah, aku tetap[ dihantui dosa. Aku minta agar Kepala Sekolah mencabut beasiswaku dan mengeluarkanku dari sekolah, namun beliau pun tak menghiraukannya.

Aku tak pernah bias menghilangkan rasa bersalah ini. Maka, kuputuskan untuk memberikan kornea mataku padamu setelah ragaku terbujur kaku. Ya, kanker otak telah menghabisi hidupku.

Jodi, maafkan kesalahanku.

Tertanda

Alimudin

***
Air mata berlinang menlintasi pipiku. Aku menyadari ternyata Ali tak pernah menaruh benci padaku, tapi aku menyimpan begitu besar kebencian terhadapnya yang tak memiliki salah sedikitpun padaku.

“Terima kasih, Ali. Selamat jalan! Kan kujaga cahaya yang telah kau berikan padaku dan akan menjadi amal yang tak pernah putus bagimu.”, batinku.
-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTARI SETIAP POSTING YANG SAYA TULIS.....

JANGAN LUPA KOMENTARI SEMUA YANG ADA DI NEGARA KITA....