Rabu, 14 Oktober 2009

cerpen: SENYUM TERAKHIR ADINDA

Farhan menatapku dengan penuh harapan, kubalas tatapannyauntuk menelusuri kesungguhannya. Sementara itu, Adinda menggenggam telapak tanganku. Ia berbisik perlahan pahaku, “Kak, gimana?”.

Bisikan Adinda mengalir ke dalam darahku, naluriku menyatakan bahwa Farhan adalah orang yang tepat bagi Adinda. Kulukiskan senyum tipis dan berkata, “Far, gue percaya sama lo. Jangan skitin Adinda ya!”

“Jadi, lo percayain Adinda ke gue?”, tanya Farhan dengan riangnya.

Kulihat Adinda tersenyum bahagia. Ia memelukku erat-erat.kurasakan air matanya menetes di dadaku, air mata kebahagiaan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Terima kasih ya, Kak. Aku senang akhirnya Kakak bisa percaya sama Dinda buat jatuh cinta.”, kata Adinda padaku.

“Sama-sama, Dik.”, balasku.

Kuraih jemari Farhan dan Adinda, kemudian kusatukan keduanya. Aku melihat rona kebahagiaan terus terpancar dari wajah halus Adinda. Bagaimana tidak, baru kali ini aku mengizinkan seorang lelaki mencintai Adinda.

“Dinda, Kakak gak akan halangi kamu untuk mencintai farhan, karena Kakak mau kamu terus tersenyum hingga waktu yang tak Kakak inginkan itu datang.”, pikirku.
***

Langit begitu pekat, tak ada satupun bintang yang mengedipkan cahayanya. Rembulan pun tak menampakkan kecantikannya. Semilir angin tak menghentikan cucuran keringat dingin yang mengalir di tubuhku, keringat yang tercipta oleh rasa khawatir.

“Ya Allah, ada apa ini, kenapa Adinda belum juga pulang?”, gumamku.
Kulihat jam dinding telah menunjukka pukul sepuluh malam, terlalu malam bagi Adinda untuk berada di luaran. Hatiku bergemuruh, naluriku merasakan detak-detak kekhawatiran di setiap detak jantungku.

Kucoba menghubungi Adinda, namun tak mendapat jawaban. Kuhubungi Farhan, tapi ponselnya tidak aktif. Aku berkata dalam hati kecilku, “ Ya Allah, lindungi Adinda! Hamba tidak mau terjadi apa-apa padanya.”

Terdengar suara pintu diketuk, disusul oleh suara Farhan, “Assalamu ‘Alaikum.”

Kubuka pintunya, lalu kulihat Farhan terengah-engah. Keringat mengalir deras dari seluruh tubuhnya. Mukanya pucat pasi, rambutnya tak lagi tertata-rapi.

“Ada apa, Far?”, tanyaku.

“Adinda…”

“Kenapa Adinda, dimana dia?”

“Dia..”

“Iya, dia kenapa?”

“Adinda masuk rumah sakit, Rik.”

Mendengar Adinda masuk rumah sakit, hatiku merasa pilu. Tak terasa air mata mengalir di sela-sela pipiku. Kuremas bahu Farhan dan bertanya padanya, “Kenapa Adinda bisa masuk rumah sakit?”

Ia tertunduk dan terdengar isak tangis darinya, kemudian menjawab pertanyaanku, “Gue gak tahu, Riki. Tiba-tiba saja dia merasa pusing, kemudian pungsan. Gue bawa dia ke rumah sakit.”

“Terus kenapa lo gak hubungi gue?”

“Hape gue mati, Rik. Baterainya lemah. Di hape Adinda gue ga nemuin nomor lo. Gue coba cari tumpangan untuk kesini, tapi gak ada yang mau nampung gue. Jangankan buat naik taksi, naik angkot pun gue gak ada ongkos. Duit gue abis buat administrasi Adinda di rumah sakit. Jadi, gue lari dari rumah sakit kesini.”

“Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!”, seruku penuh kecemasan.

Kukeluarkan mobil dari garasi, setelah Farhan masuk aku langsung menancap gas cepat-cepat menuju rumah sakit. Lampu-lampu Jakarta menatap tajam kea rah jalanan, menyelamatkan laju mobilku dari kebutaan.

Sesampainya di rumah sakit, kupeluk Adinda yang tengah berbaring tak berdaya. Aku tak kuasa membendung air mataku. Sedih sekali aku melihat adikku terbaring seperti itu. Jangankan tertawa, tersenyumpun ia tak bisa.

“Rik, maafin gue ya! Semua ini salah gue. Gue gak bisa jagain Adinda.” Kata Riki yang berdiri di sampingku.

“Gak ada yang harus di persalahkan. Semua ini udah diatur oleh Allah.”

“Gue inget kata-kata terakhir sebelum Adinda mengeluh pusing dan akhirnya pingsan.”

Aku tercengang mendengar ucapan Farhan, kemudian aku bertanya padanya, “Dia bilang apa, Han?”
Farhan tertunduk, lalu berucap, “Dia bilang…”

Belum sempat Farhan meneruskan kata-katanya, terdengar suara Adinda memanggil-manggil ayah dan ibu kami. Suaranya begitu lirih, hingga air mata mengalir begitu saja dari pipiku tanpa aku sadari.

“Ma, Pa. Dinda kangen sama kalian. Dinda mau kita kumpul lagikaya dulu.dinda sedih kalian gak pernah pulang.” Kata Adinda dengan lirihnya.

Mendengar Adinda mengeluh di alam bawah sadarnya, aku mengerti sekali akan kerinduan yang ia rasakan pada ayah dan ibu. Kutelepon ibu satu persatu dan kuminta untuk pulang dan menemui Adinda.

“Tapi, Mama sibuk disini.” Kata ibuku dari ujung telepon.

“Sibuk apa? Mama gak saying ya asama Adinda?” tanyaku bernada setengah tinggi.

“Mama kan harus ngurusin bisnis Mama disini. Kan uangnya buat kalian juga.”

“Kamu gak butuh uang berlimpah kalau kami sendiri gak pernah merasakan kasih sayang.”

Kuputuskan sambungan telepon dengan kekesalan yang menumpuk. Karena tidak mendapat tanggapan yang menyenangkan dari ibuku, maka kuputusan untuk menelepon ayah. Aku berharap beliau akan pulang dan menemui Adinda di rumah sakit, meskipun ia tak akan mau lama untuk meninggalakan pekerjaannya.

Jawaban dari Ayah sama saja dengan Ibu. Beliau tidak mau pulang, meski untuk menjenguk putrinya yang tengah terbaring lemah. Aku amat marah akan hal ini. Kubanting ponselku hingga tak berbentuk lagi. Semua komponennya hancur, namun tak sehancur hatiku yang menyaksikan adik perempuannya sakit keras dan orang tuanya enggan menemuinya.

Farhan berusaha untuk menenangkanku dan memberiku segelas air putih. Saat kuteguk air dalam gelas tersebut, kudengar suara Adinda memanggilku. Aku menoleh ke arahnya dan kulihat ia tengah menatapku. Melihat wajah pucatnya aku semakin pilu. Rasanya ingin sekali aku menggantikan posisinya.

“Kak, mana Mama sama Papa?” tanyanya padaku.

Aku tertunduk mendengar pertanyaan Adinda. Aku tak bernyali untuk mengatakan yang sesungguhnya. Sakit hatiku bila melihat adik tercintaku itu sedih.

“mereka akan pulang lusa, Dik.” kataku berbohong.
Adinda tersenyum mendengar perkataanku. Terlihat di wajahnya secercah harapan untuk bertemu Ayah dan Ibu. Namun, ia terpejam setelah tersenyum. Aku tak melihat perutnya mengembang dan mengempis. Aku bingung dan tak tahu harus bagaimana.

“Rik, Adinda gak bernapas.” Kata Farhan spontan.

“Apa?”

“Gue panggil dokter kesini.”
***

Dua bulan setelah Adinda terbaring lemah di rumah sakit karena kanker yang ia idap semakin menggerogoti otaknya, ayah dan ibu pulang secara bersamaan. Seolah-olah mereka telah merencanakan ini sebelumnya.

“Riki, dimana Adinda?” Tanya Ayah padaku.

“Iya. Mana, Rik?” lanjut Ibu.

“Kalian mau tahu Adinda dimana?” aku balik bertanya.

“Iya.” Jawab ayah dan ibu sambil bersamaan.

Kubawa mereka ke tempat Adinda berada. Sebuah makam yang selalu diberi rangkaian bunga oleh aku dan Farhan setiap harinya, dingga menumpuk di sekitar makamnya.

“Kamu jangan bercanda, Rik!” seru Ayah dengan marahnya.

“Aku gak bercanda.” Jawabku singkat.

“Jadi, adinda…” lanjut Ibu, namun kupotong, “Ya. Dia meninggal dan saat hari terakhrinya kalian gak ada yang mau menemuinya. Yang kalian pentingkan hanya uang dan uang. Sekarang, Adinda udah gak ada. Apa uang yang kalian dewakan bias mengembalikan Adinda?”

Ayah dan Ibu menangis sejadi-jadinya, beberapa kali terucap kata maaf dari bibir mereka.

“Terlambat.” Kataku seraya meninggalkan mereka.
-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTARI SETIAP POSTING YANG SAYA TULIS.....

JANGAN LUPA KOMENTARI SEMUA YANG ADA DI NEGARA KITA....