Selasa, 24 Maret 2009

cerpen: SAAT PURNAMA BERSEMBUNYI


Purnama tengah bersembunyi di balik awan hitam yang menaburkan hujan untuk memberi basah pada bumi yang semakin hari semakin gersang. Dingin membalut tubuhku, darahku membeku dan nadiku berdenyut tak beraturan.

Aku duduk di deretan kursi biru di depan ruangan yang berbau obat dengan jantung yang berdetak cemas. Di dalam ruangan itu terbaring kakakku melawan kanker darah yang menyerangnya sejak ia berusia 7 tahun dan kini ia telah menyandang usia ke-21. Tim dokter berjuang untuk menyelamatkan kakakku yang akrab ku panggil Bang Rian itu. Ayah dan ibuku duduk cemas di sisi kanan dan kiriku.

"Yah, ibu takut sekali..." ucap ibu dalam tangisnya.

"Tenanglah, Bu! Dokter sedang berjuang untuk menyelamatkan Rian. Berdo'a sajalah, Bu!" Timpal ayah dengan bijak dan berusaha tegar.

Air mata tak pernah berhenti mengalir dari sungai mata ibu yang telah membengkak. Aku dipeluknya erat-erat. Angin mendesir namun tak mampu mengalahkan hangatnya pelukan ibu.

"Bu, sudahlah! Hentikan tangismu! Kasian Bang Rian kalo ibu tak menampakkan ketegaran" ucapku halus. Namun ibu tak mengentikan tangisnya.

Ayah berpindah dari sisi kiriku ke sisi kanan sehingga dan posisi ibu menjadi di tengah-tengah antara aku dan ayah. Beliau memeluk ibu erat-erat, mencoba menenangkan dengan kata-kata halusnya yang penuh dengan nasihat-nasihat bijah dari seorang pemimpin rumah tangga. Mata ayah memang berkaca-kaca, namun tak setetespun air mata mengalir di pipinya.

Pikiranku tertuju kepada seseorang yang tak kunjung datang sejak siang aku beri kabar.lewat pesan singkat. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya dengan telepon, namun tak juga mendapat jawaban. Kehadirannya sangan kami harapkan karena dia adalah tonggank semangat Bang Rian. Tiga tahun lebih Bang Rian menjalin hubungan cinta dengan gadis yang akrab ku panggil Mbak Rini itu. Hatiku semakin tak mampu menyimpan kesabaran, akhirnya ku putuskan untuk menjemput Mbak Rini di rumahnya.

"Ayah, Ibu! Andra mau menjemput Mbak Rini ya!" kataku untuk meminta izin kepada ayah dan ibu.

"Silahkan, Nak!" jawab ayahku pertanda ia mengizinkan aku untuk menjemput Mbak Rini.

Langkahku menderap cepat dan memecah kesunyian, menuju tempat dimana mobilku diparkir. Ku pacu mobil sportku di tengah hujan yang tak menampakkan tanda hendak berheti. Kesal, khawatir dan sedih bercampur menjadi satu dalam perasaanku. Aku kesal kepada Mbak Rini yang tak juga datang ke rumah sakit meski telah ku kabari ia lewat pesan singkat ke ponselnya, khawatir dan sedih karena Bang Rian tengah berjuang menantang maut di ruang operasi.

Roda bergulir cepat bagai angis, tak terpikir lagi bahaya yang selalu mengintai di belakkangku. Lampu merah ku terobos, roda yang licin ku paksa encakar aspal engan tepat ddan cepat.

Sampailah aku di istana Mbak Rini. Ku parkir mobilku di depan gerbang tanpa ku kunci lagi karena tergesa-gesa.

“Tok... Tok... Tok...” Ku ketuk pintu berulang kali dan “Kre....k...” Pintu terbuka dan nampak Mbak Rini dalam balutan baju hangat yang melindunginya dari hantaman hawa dingin.

"Ada apa kamu hujan-hujan begini kesini?" tanya Mbak Rini heran.

"Andra mau menjemput Mbak Rini" jawabku agak kesal.

"kemana?" Tanya Mbak Rini yang terlihat heran dengan nada bicaraku

"Ke rumah sakit. Bukankah Mbah sudah ku kabari lewat SMS?"

"SMS?"

"Ya"

"Kamu lupa? HP Mbak kan hilang?!"

"Ya ampun! Andra lupa, Mbak" kataku dengan membantingkan telapak tanganku ke kening.

"Ya sudah, ada apa?"

"Bang Rian sedang operasi, Mbak. Mbak kesana sekarang, ya!"

Ekspresi wajah Mbak Rini seperti seorang yang habis dipukul dengan palu gada hingga hatinya remuk tak berbentuk. Air mata pilu pengalir dari mata indah melintasi pipi halusnya dan bermuara di bibir merah mudanya.

"Ayo ke rumah sakit sekarang!" ajak Mbak Rini yang kemudian langsung mengunci pintu tanpa mengganti bajunya.

Aku menuruti ajakan Mbak Rini. Langsung ku tancap gas mobilku, meniti ruas-ruas jalan ibu kota. Ku terobos laig lampu merah, untungnya polisi tak melihat lejitan cepat mobil hitamku yang bolak-balik menerobos lampu kekuasaannya. Hujan belum juga menutup seranganny da awan hitam masih menyembunyikan purnama.

Ketika kami sampai di rumah sakit, Mbak rini langsung memeluk ayah dan ibu yang masih diiringi tangisan sendu ibu.

"Om, Tante! Maafkan Rini! Rini tidak tahu kalau Rian dioperasi malam ini" ucap mbak Rini yang diiringi air mata yang mengalir deras di pipinya.

"Ya sudah, tidak apa-apa! Sekarang Rian sudah dipindahkan ke ruang ICU. Kau boleh melihat keadaaanya, tapi dokter bilang Rian tidak boleh diajak bicara dulu" jawab ayah bijak.

Mbak Rini berlari ke ruang ICU untuk melihat keadaan Bang Rian, aku mengekor di belakangnya. Dibukanya pintu ruangan tersebut dengan perlahan kemudian ia masuk dengan langkah lemah dan menghampiri Bang Rian Yang terbujur lemas di atas ranjang pasien.

"Ri, maafkan aku! Aku tidak menemanimu saat kau berjuag di ruang operasi" kata Mbak Riniyang tersedu.

Aku pun tak kuasa untuk membendung tangsanku. Aku terlalu sedih untk tidak menangis. Apalagi Bang Rian telah mengukir banyak sejarah denganku, sampai ia berpacaran dengan Mbak Rini pun aku yang mengenalkannya. Susah dan senag ku lalui dengan Bang Rian yang tak pernah jauh dariku. Kami seolah dua sahabat karena memang jaraj antaa usia kamu berdua tak terlalu renggang, kami hanya berbeda dua empat tahun.

"Rian, kamu sadar?!" terdengar suara Mbak Rini yang dibalut nada senang.

Aku melihat Bang Rian telah membuka matanya dan langsung ku panggil ayah dan ibu untuk masuk ke dalam ruang ICU dan melihat keadaan Bang Riang yang telah siuman.

"Rian, kamu sudah sadar" tanya ibu yang telah mampu tersenyum.

Bang Rian menjawab pertanyaan ibu dengan anggukan pelan karena lehernya terbungkus penyangga. Seuntai kalimat terucap dari mulut Bang Riang kepadaku, "Ndra, Kamu teruskan perjuangan kita untuk menembus dapur rekaman, jangan menyerah!" kujawab dengan anggukan semangat dengan diiringi tangis bahagia dan senyum penuh optimisme.

Tatapan Bang Rian beralih ke ayah dan ibu yang berdiri beriringan. Ia berkata pelan, "Ayah, Ibu! Rian akan mewujudkan harapan dari kalian untuk menjadi dokter tapi Rian juga ingin merajut mimpi Rian bersama Anda menuju dapur rekaman" digenggamnya tangan ibu.

"Silahkan, Nak!" jawab ayah dan ibu hampir berbarengan.

Pandangannya bergulir ke arah Mbak Rini yang tak melepaskan belaiannya kepada Bang Rian. Bang Rian membelai pipi kanan Mbak Rini dan mengukir kata nan indah, "Rin, aku akan mencintaimu hingga akhir hayatku!" dijawab oleh mbah rini dengan senyum dan rajutan kata, "Ya, aku juga!" kemudian Bang Riang membelai kiri pipi Mbah Rini dan menyapu air matanya.

Tiba-tiba Bang Rian terpejam dan elektrokardiagraf menampilkan garis lurus, segera kupanggil doketer yang langsung menangani Bang Rian. Dokter menyerah dan melepas infus dari wajah Bang Rian kemudian menutup seluruh tubuhnya dengan kain yang semula menjadi selimut Bang Rian.

"Rian telah pergi!" kata dokter dengan nada lemas

Sontak saja tangis kehilangan mewarnai ruang ICU yang menceka. Purnama yang bersembunyi ternyata menyembunyikan kehidupan fana untuk Bang Rian dan mengantarnya ke kehidupan yang abadi. Hujan yang menderai rupanya bermaksud membasahi tanah kuburan agar mudah di gali untuk persemayaman kakakku yang terakhir. Kata-kata yang terlontar saat ia siuman sementara ternyata pesan terkahirnya untuk aku, ayah, ibu dan Mbak Rini.

"Ternyata belaianmu itu adalah belaian terakhirmu" ucap Mbak Rini yang berurai air mata.

Ruang sempit dan gelap di bawah tanah menghimpit tubuh Bang Rian, mengakhiri petualangannya di dunia fana. Aku hanya bisa berdo’a semoga ia dditerima disisi-Nya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTARI SETIAP POSTING YANG SAYA TULIS.....

JANGAN LUPA KOMENTARI SEMUA YANG ADA DI NEGARA KITA....